15 Maret 2012

Kisah Dua Buah Karung Goni

Liu Gang adalah seorang terpidana kasus perampokan,
dia sudah dipenjara selama satu tahun
dan tidak ada seorang pun yang pernah datang menjenguknya.

Ketika menyaksikan narapidana lainnya
dalam selang waktu tertentu selalu saja ada orang yang datang menjenguk
dan menghantarkan segala macam makanan enak,
mata Liu Gang menjadi gatal,
maka dia lalu menulis surat kepada ibunya
dan meminta mereka untuk datang,
bukan demi makanan enak, hanya karena rindu pada mereka saja.

Namun setelah tiada terhingga lembar surat yang dikirimkannya
bagaikan tenggelam di laut saja,
Liu Gang akhirnya mengerti kalau ayah ibunya tidak menginginkannya lagi.
Dalam kesedihan dan keputus-asaannya,
dia kembali menulis selembar surat,
di dalamnya dikatakan jika ayah ibunya masih belum datang juga,
maka mereka akan kehilangan anaknya ini untuk selama-lamanya.
Ini bukan lampiasan kekecewaan,
tetapi dikarenakan beberapa orang terpidana hukuman berat
sudah beberapa kali mengajaknya untuk melarikan diri dari penjara,
hanya saja dia belum berani mengambil keputusan,
namun sekarang pendeknya ayah dan ibu sudah tidak menginginkannya,
tiada lagi yang menjadi ganjalan batin,
jadi apa lagi yang harus dikhawatirkannya?


Cuaca hari ini sangat dingin.
Bertepatan pada saat Liu Gang secara diam-diam
sedang membicarakan rencana pelarian dengan beberapa orang narapidana,
tiba-tiba ada orang berteriak:

“Liu Gang, ada orang datang menjengukmu!”

Siapa pula ini?
Ketika masuk ke dalam ruang kunjungan,
Liu Gang tertegun, itu adalah ibunya.

Setahun tidak bertemu, ibunya sudah berubah sampai sulit dikenal lagi.
Orang yang berusia tidak sampai 50 tahun,
semua rambutnya sudah beruban,
punggungnya juga bongkok seperti udang,
badannya kurus kerempeng bagai tidak berbentuk manusia lagi,
pakaiannya lusuh dan koyak sana sini,
sepasang kakinya tidak beralas dan penuh dengan debu dan bercak darah,
di sampingya diletakkan dua buah karung goni yang sudah koyak.


Kedua ibu dan anak ini saling berpandangan,
sebelum Liu Gang sempat membuka mulut,
air mata ibunya sudah mengalir turun,
sambil menyeka air mata, ibunya berkata:

“Xiao Gang, suratmu sudah ibu terima,
jangan menyalahkan ayah dan ibu,
tetapi ayah dan ibu benar-benar tidak bisa menyempatkan diri untuk datang,
ayahmu .... dia jatuh sakit dan ibu harus merawatnya,
lagipula perjalanan ke sini sangat jauh ....”


Pada saat ini, seorang pembina narapidana masuk
dengan membawa semangkuk besar mi telur yang panas-panas
dan berkata dengan antusias:

“Ibu, makan dulu semangkuk ini,
nanti baru lanjutkan  perbincangannya.”
Ibu Liu segera berdiri, tangannya terus menggosok tubuhnya keras-keras:
“Tidak boleh, tidak boleh begitu.”

Pembina menyorongkan mangkuk ke tangan orang tua ini
dan berkata sambil tersenyum:

“Ibuku juga ada seusia anda,
apakah kurang pantas jika ibu makan semangkuk mi dari anaknya?”

Ibu Liu tidak menolak lagi,
dia menundukkan kepala dan segera menyantap mi itu dengan lahap,
seakan sudah beberapa hari tidak makan saja.


Setelah ibunya siap makan,
Liu Gang melihat pada sepasang kaki yang bengkak
dan penuh bercak darah dari kaki yang luka, tanpa tertahankan bertanya:

“Ibu, apa yang terjadi dengan kakimu? Mana sepatu  ibu?”

Sebelum ibunya menjawab, pembina yang menjawab dengan nada suara dingin:

“Ibumu datang dengan jalan kaki, sepatunya sudah tergesek koyak.”


Berjalan kaki? Dari rumah sampai ke sini ada 500 - 600 kilometer,
juga ada satu ruas merupakan jalan gunung yang sangat panjang.
Liu Gang perlahan-lahan berjongkok
dan pelan-pelan mengelus sepasang kaki yang tidak berbentuk lagi itu:

“Ibu, mengapa ibu tidak naik bus saja?
Kenapa tidak membeli sepasang sepatu?”

Ibu menarik kakinya dan berkata seakan tidak ambil peduli:

“Naik bus apa, lebih baik jalan kaki saja.
Tahun ini terjadi wabah penyakit babi,
beberapa ekor babi yang ada di rumah mati semua,
udara juga sangat kering,
panen tanaman di ladang tidak baik jadinya,
ada lagi .... ayahmu sakit dan perlu pengobatan,
itu menghabiskan sangat banyak uang ....
jika kesehatan tubuh ayahmu cukup baik,
kami sejak lama sudah datang menjengukmu,
jadi jangan menyalahkan ayahmu.”


Pembina itu menyeka air matanya dan diam-diam ke luar dari ruangan.
Liu Gang bertanya sambil menundukkan kepalanya:

“Apakah tubuh ayah sudah sehat?”

Liu Gang menunggu sangat lama, namun tiada jawaban,
ketika menonggakkan kepala, dia melihat ibunya sedang menyeka air matanya,
namun mulutnya mengatakan:

“Mata ibu masuk pasir, kamu bertanya akan ayahmu?
Oh, dia sudah mau sembuh ....
Dia meminta ibu menyampaikan kepadamu agar jangan terlalu memikirkannya,
kamu harus baik-baik membina diri agar nantinya menjadi orang baik-baik.”


Waktu kunjungan sudah habis.
Pembina masuk kembali dengan kedua tangan
memegang setumpukan uang dan berkata:

“Ibu, ini adalah sedikit uang dari kami beberapa orang pembina penjara,
anda jangan pulang lagi dengan berkaki telanjang,
jika tidak, Liu Gang akan merasa sangat sedih.”

Sepasang tangan ibu Liu Gang terus terayun dan berkata:

“Mana boleh begitu, anakku di sini sudah cukup merepotkan kalian,
jika ibu mengambil uang kalian,
bukankah akan memperpendek umur ibu nantinya?”


Pembina berkata dengan suara bergetar:

“Sebagai anak, Li Gang tidak dapat membuat anda menikmati kehidupan ini,
malah membuat orangtua khawatir dan mencemaskannya,
membuat ibu berjalan dengan kaki telanjang
sepanjang ratusan kilometer sampai ke sini,
jika membiarkan ibu pulang dengan kaki telanjang,
apakah anak anda ini masih tergolong manusia?”


Liu Gang tidak dapat menahan diri lagi,
dengan suara parau memanggil: “Ibu!”
Kemudian tidak dapat melanjutkan kata-kata lagi,
saat ini di luar jendela juga terdengar banyak suara tangisan,
itu merupakan suara para terpidana yang diundang oleh pembina
untuk ikut menyaksikan.


Pada saat ini, ada seorang penjaga masuk ruangan
dan pura-pura berkata dengan enteng:

“Jangan menangis lagi, ibu datang melihat anak adalah peristiwa bahagia,
semuanya harus senang,
mari saya lihat makanan enak apa yang dibawa oleh ibu.”

Sambil berkata dia mengambil karung dan menuangkannya ke lantai,
ibu Liu Gang tidak sempat mencegah,
semua isi sudah dikeluarkannya, seketika semua orang tertegun.

Isi karung pertama ternyata semuanya adalah roti dan sejenisnya,
semuanya sudah pecah-pecah dan keras bagai batu,
lagipula ukurannya besar kecil.
Tidak usah dikatakan lagi,
ini pasti hasil dari ibu Liu Gang mengemis sepanjang perjalanan ke sini.
Ibu Liu Gang merasa malu sekali,
sepasang tangannya memegang keras pada ujung bajunya dan bergumam:

“Anakku, jangan salahkan ibu telah melakukan pekerjaan ini,
sebab di rumah sama sekali tidak ada satu pun barang berharga lagi ...”

Liu Gang bagaikan tidak mendengar perkataan ibunya ini,
dia terus memandang lurus pada benda yang dituangkan dari karung goni kedua,
itu adalah sebuah guci abu tulang manusia.
Liu Gang bertanya dengan termangu-mangu:

“Ibu, ini apa?”

Wajah ibu Liu Gang tampak kebingungan,
dia mengulurkan tangan untuk memeluk guci tersebut:

“Bukan apa-apa...”
Liu Gang merebutnya bagaikan gila, dengan tubuh gemetar berkata:
“Ibu, apa ini?”

Ibu Liu Gang terduduk tanpa bertenaga,
kepala dengan rambut ubannya bergetar hebat.
Sejenak kemudian, dia berkata dengan susah payah:

“Itu adalah .... ayahmu!
Demi mencari uang agar dapat datang menjengukmu,
dia bekerja siang malam,
akhirnya tubuhnya tidak tahan dan jatuh sakit.
Sebelum wafat, dia mengatakan sangat sedih
karena dalam masa hidupnya tidak dapat datang menjengukmu,
maka dia meminta ibu
agar sesudah mati dapat membawanya datang menjengukmu
dan melihatmu untuk terakhir kalinya...”

Liu Gang berteriak dengan hati sangat sedih seakan hatinya terkoyak:

“Ayah, saya akan merubah diri ...”

Kemudian terdengar suara “buuuk”,
Liu Gang sudah berlutut,
kepalanya terus dianggukkan ke lantai.

“Buuuuk, buuuk”,
terlihat semua orang di luar ruangan ikut berlutut
dengan suara tangisan memenuhi langit....