Cari Blog Ini

28 Agustus 2010

Dhamma - Perkawinan dalam Agama Buddha


Dalam Kitab Suci Tipitaka, 


Digha Nikaya III, 152, 232 


dan dalam Anguttara Nikaya II, 32.


Ada minimal 4 ( empat ) sikap hidup yang dapat dipergunakan 


untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan 


sebagai Suami Istri yang harmonis. 


Ke-4 ( empat ) hal itu adalah:



1. Kerelaan ( Dana


2. Ucapan yang baik atau halus ( Piyavaca


3. Melakukan hal yang bermanfaat baginya ( Atthacariya


4. Batin seimbang, tidak sombong ( Samanattata )





Dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu 

bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam 


A. Kesamaan keyakinan ( Saddha


B. Kesamaan kemoralan ( Sila 


C. Kesamaan kedermawanan ( Caga


D. Kesamaan kebijaksanaan ( Pañña )



* * * * *




Pendahuluan


Dalam pandangan Agama Buddha, 

Perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban.

Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini

boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri.





Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di Vihara -

sebagai Bhikkhu, Samanera, Anagarini, Silacarini -

ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.






Sesungguhnya dalam Agama Buddha,

hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja.


Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. 



* * *




Apabila seseorang berniat berumah tangga, 

maka hendaknya Ia konsekuen dan setia dengan pilihan-nya, 

melaksanakan segala tugas dan kewajibannya 

dengan sebaik-baiknya. 





Orang yang demikian ini 

sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa 

tetapi hidup dalam rumah tangga. 

Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, 

seperti dalam syair di atas.



* * * * *




Mencari dan Membina Pasangan Hidup


Dalam menguraikan tujuan hidup manusia,

disebutkan salah satunya adalah 

tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia.

Dengan demikian, 

pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan 

dalam hidup berumah tangga.





Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara 

mendapatkan pasangan hidup yang sesuai

serta membina hubungan baik, 

mempertahankan komunikasi serasi 

setelah menjadi Suami Istri.



* * *





Memang, hal tersebut dapat diperoleh 

dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 

dan dalam Anguttara Nikaya II, 32.





Diuraikan di sana 

bahwa ada minimal 4 ( empat ) sikap hidup 

yang dapat dipergunakan

untuk mencari pasangan hidup 

sekaligus membina hubungan sebagai Suami Istri yang harmonis.


Ke-4 ( empat ) hal itu adalah:



1. Kerelaan ( Dana )


Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415)

telah disebutkan bahwa

Sesuai dengan benih yang ditabur,


demikian pula buah yang akan kita petik.





Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. 

Dengan demikian, 

apabila kita ingin diperhatikan orang, 


mulai-lah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. 


Apabila kita ingin dicintai orang, 

mulai-lah dengan mencintainya.






Cinta di sini bukan-lah sekedar keinginan untuk menguasai,

melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya.



Kualitas cinta ini seperti seorang Ibu yang menyayangi Anak Tunggal-nya. 




Ia akan mempertahankan anak tercinta-nya 

dengan seluruh kehidupan-nya,

melindungi anak tersayang-nya 

dari segala macam bahaya dan bencana,

memberikan segala-nya demi kebahagiaan anak-nya,

serta rela memaafkan segala kesalahan anak-nya.





Dalam mencari dan membina pasangan hidup, 

kerelaan jelas amat diperlukan.




Kerelaan materi di awal perkenalan 

dapat dikembangkan

menuju kemampuan merelakan keakuan.



Kerelaan keakuan ini 

berbentuk pengembangan sifat saling pengertian, 

saling memaafkan. 




Kesalahan pasangan hidup, 

seringkali bukanlah karena disengaja.

Oleh karena itu,

menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela

memberikan kesempatan berkali - kali kepada pasangan

untuk dapat membangun kualitas diri-nya.



Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri.




Kemarahan bukanlah tanda cinta.

Kemarahan adalah tanda keakuan.

Ingin segala harapan-nya terpenuhi.





Dengan kerelaan, 

Orang akan lebih mudah mengerti 

serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. 




Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh 

dalam menjalin hubungan dengan orang lain, 

khususnya dengan pasangan hidup.







2. Ucapan yang baik / halus ( Piyavaca )



Dalam dunia ini, 

siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, 

termasuk pula pasangan hidup. 




Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar,

walaupun orang itu sendiri kasar kata-kata-nya.





Menghindari caci maki 

dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar,

akan sangat membantu 

dalam membina hubungan dengan pasangan hidup.





Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran 

akan menjadi daya tarik yang kuat 

dalam menjaga keharmonisan hubungan.

Sampaikan-lah pujian kita pada pasangan 

dengan kalimat yang menyenangkan. 





Demikian pula, 

ucapkan kritikan pada pasangan 

dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, 

untuk menghindari kesalahpahaman.





Perlu direnungkan, 

menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas

sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri.




Sebab, 

orang tentu-nya akan menjadi sedih 

apabila orang yang dicintai-nya juga sedang sedih.

 






3. Melakukan hal yang bermanfaat baginya ( Atthacariya )



Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain.

Dalam pengembangan konsep berdana,

sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental:

“Semoga Semua Mahluk Hidup Berbahagia”.




Demikian pula dengan pasangan hidup.

Ia adalah mahluk pula, 

berarti Ia harus diberi kesempatan berbahagia pula.





Orang harus berusaha sekuat tenaga 

untuk membahagiakan pasangan hidupnya. 

Sesungguhnya, 

kebahagiaan orang yang dicinta 

adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.





Dengan demikian, 

tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan 

untuk membahagiakan orang yang dicintai. 





Banyak pendapat umum yang menganggap 

bahwa cinta adalah menuntut.

Orang yang dicintai haruslah mampu 

memenuhi harapan orang yang mencintai.

Konsep ini sesungguhnya tidak tepat.





Sebab, 

apabila orang yang dicintai 

sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan,

apakah Ia kemudian diceraikan ?





Oleh karena itu, 

cinta sesungguhnya memberi, merelakan.




Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia 

dengan caranya sendiri,

bukan dengan cara orang yang mencintai.





Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik 

dalam setiap insan,

maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi.

Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan ?





Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai

hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan 

termasuk dalam kehidupan perkawinan.




Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri 

yang membahagiakannya,

apakah seseorang akan meminta orang lain 

untuk membahagiakan dirinya ?






4. Batin seimbang, tidak sombong ( Samanattata )



Pengembangan sikap penuh kerelaan, 

ungkapan dengan kata yang halus

dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai

hendaknya tidak memunculkan kesombongan.





Jangan pernah merasa 

bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi.

Dalam konsep Buddhis,

segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal.

Tidak akan pernah ada penyebab tunggal.




Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang,

pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja.

Banyak unsur lain 

yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.


 


Keseimbangan batin 

sebagai hasil selalu menyadari 

bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab 

dan kebahagiaan muncul 

karena buah kammanya masing-masing 

akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. 




Kesombongan selain tidak sedap didengar

juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita.




Kesombongan mempunyai pengertian

bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga 

apabila tanpa kita.




Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai.

Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan.

Kurangnya penghargaan yang layak 

akan menimbulkan masalah besar

dalam masa pacaran 

maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.




* * * * * * * * * *




Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup,

selain selalu berusaha melaksanakan 4 ( empat ) sikap di atas,

hendaknya jangan melupakan 

adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan.




Hal ini apabila terpenuhi 

akan menjadi faktor tambahan

yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga.




Terdapat 4 ( empat ) faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia.



4 ( empat ) hal tersebut telah diuraikan


 dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu 


bahwa Pasangan hendaknya memiliki kesamaan 


dalam  


Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.





A. Kesamaan Keyakinan ( Saddha )


Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, 

tetapi merupakan keyakinan yang muncul 

dari pikiran dan pandangan yang benar 

sehingga akan membentuk pola hidup. 




Kita menyadari 

bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu,

tetapi pencerapan dan penyelaman kita 

akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.




Namun demikian, 

Keyakinan yang berbeda 

sering menimbulkan masalah bagi pasangan.

Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinan-nya,

bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinan-nya pada pihak lain,

tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu.




Butuh toleransi dan pengertian yang besar 

dari ke-dua belah pihak. 




Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan pun 

masih dapat terus muncul

apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan.

Menentukan tempat pemberkahan pernikahan 

dapat menjadi beban ekstra.




Setelah memiliki Anak pun 

masalah ini masih terus berlanjut

Pasangan mungkin akan terus terlibat 

dalam diskusi berkepanjangan

dan mungkin perdebatan sengit 

tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka.






B. Kesamaan Kemoralan ( Sila )



Apabila keyakinan telah sama,

maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. 




Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama 

melaksanakan Pancasila Buddhis.



Pancasila Buddhis terdiri dari 5 ( lima  ) latihan kemoralan, 

yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203).




Pelaksanaan ke-5 ( lima ) latihan kemoralan ini

akan banyak menghindarkan masalah 

dalam masyarakat dan rumah tangga.




Dalam segala lapisan masyarakat,

pelanggaran ke-5 ( lima ) latihan kemoralan ini 

akan dipandang sebagai kesalahan.





Pelaksanaan ke-5 ( lima ) latihan kemoralan ini 

akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. 




Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga

akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, 

membuka wawasan komunikasi yang baik

serta menghindarkan saling curiga dan was-was 

di antara pasangan.







C. Kesamaan Kedermawanan ( Caga )



Caga bukan hanya berarti suka berdana,

tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, 

jiwa melepas,

tidak tergantung, dan tidak melekat.




Bagi orang yang murah hati 

pasti akan lebih mampu

memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha.




Orang yang murah hati 

batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia 

sehingga akan memudahkan 

untuk pengembangan batin yang lain-nya.




Memiliki watak kedermawanan yang sama 

dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti 

bahwa cinta sesungguh-nya 

adalah memberi segala-nya 

demi kebahagiaan orang yang kita cintai 

dengan ikhlas dan tanpa syarat. 




Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik 

di pikiran setiap pasangan,

masalah sebagai akibat tuntutan 

agar pasangan dapat memenuhi harapan kita 

akan selalu muncul.






D. Kesamaan Kebijaksanaan ( Pañña )



Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan 

agar bila menghadapi masalah hidup, 

pasangan mempunyai wawasan yang sama. 

Wawasan yang sama 

akan mempercepat penyelesaian masalah.




Perbedaan kebijaksanaan 

akan menghambat dan memboroskan waktu.

Pasangan membutuhkan waktu lebih lama 

untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu 

sebelum memikirkan jalan keluar 

atas masalah yang sedang dihadapi.





Kebijaksanaan yang dimaksud tentu 

yang sesuai dengan Buddha Dhamma. 

Buddha Dhamma telah mengajarkan 

bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan.

Penyebab adanya ketidakpuasan ini

hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali.





Oleh karena itu, 

apabila seseorang dapat mengendalikan keinginan-nya,

maka ketidakpuasan-nya pun 

akan dapat segera diatasi.




Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar

untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan.




Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini,

maka tidak akan ada masalah 

yang tidak dapat diselesaikan.




Sesungguhnya, 

dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, 

Kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.





Sumber :
http://artikelbuddhis.blogspot.com/2010_01_01_archive.html