Cari Blog Ini

06 November 2010

Kisah Mandhatar



Kisah Mandhatar ini bersumber di Tripitaka Sanskerta ( Diwyawadana ) 

dan ada juga versi lain-nya di Tipitaka Pali ( Mandhatu-Jataka, Jataka 258 ). 

Kisah Raja Adikuasa yang memiliki segala-nya dan kehendak-nya selalu terwujud ini 

menyadarkan kita untuk hidup bercukup hati dan bijaksana. 


"Aku telah mendapatkan apa pun,  

Aku telah menguasai mana pun, 

Aku telah mengungguli siapa pun, 


Namun entah mengapa, 

Aku tak pernah merasa bahagia, 

Karena hati-ku tak pernah cukup rasa-nya..."



"Pada saat itu, Aku adalah Mandhatar, Penguasa Bumi dan Surga"  

"Kecukupan Hati adalah Kekayaan Tertinggi."  

( Buddha Gautama, Dharmapada 204 )


* * * * * *

Kisah Mandhatar di Candi Borobudur

Di dinding utama galeri utama,
dibawah rangkaian bingkai yang berisi kisah hidup Bodhisattwa ( Lalitawistara ),
terdapat rangkaian bingkai relief yang disebut Awadana ( Kisah Kebajikan Agung ).

Awadana memuat kisah kelahiran legendaris Bodhisattva dan para siswa-Nya.
Salah satu-nya adalah kisah Mandhatar yang ada di bingkai relief ke-31-50 dari pintu timur candi.

* * *


Raja Uposadha adalah seorang Raja yang bajik dan bijak.
Ia sering melakukan kunjungan untuk membagikan hadiah kepada rakyat-nya.
Suatu hari, ketika sedang berkeliling negeri, ia merasa sangat lelah dan haus.

Di suatu tempat, para Pertapa sedang menyiapkan air keramat
yang dapat membuat perempuan atau pria mengandung.
Karena merasa sangat haus, Raja Uposadha langsung meminum air yang dibuat para Pertapa itu.
Para Pertapa pun tak sempat mencegah-nya.


Sekembali-nya ke Istana, Raja Uposadha mulai merasa mengandung, bukan di perut, melainkan di dahi.
Dari dahi-nya muncul benjolan lembut yang tidak menyakitkan,
benjolan ini tumbuh besar dan makin besar tiap hari-nya.
Suatu hari, benjolan ini pecah dan melahirkan seorang Pangeran kecil.
Pangeran kecil ini memiliki semua tanda sosok Makhluk Agung.
Raja Uposadha memberi nama Pangeran kecil ini Mandhatar.


Mandhatar tumbuh dewasa menjadi orang yang memiliki kesaktian hebat.
Jika ia mengepalkan tangan kiri-nya dan menyentuh-nya dengan tangan kanan-nya,
apa pun yang dia inginkan, pasti akan terwujud. 
Karena kesaktian-nya itu, ia menjadi sombong.


Ketika Mandhatar sedang berkeliling negeri,
seorang utusan menyampaikan kabar bahwa Ayah-nya sakit keras.
Akan tetapi, Mandhatar menolak untuk kembali ke Kerajaan untuk menengok Ayah-nya yang sakit.
Bahkan sampai Ayah-nya meninggal pun, Mandhatar tetap tidak mau pulang.

Mandhatar berkata :
"Jika aku memang sudah seharus-nya menjadi Raja, aku bisa menjadi Raja disini dan saat ini juga!"


Lalu Mandhatar mengutus Yaksa Diwaukasa, siluman perkasa,
untuk mengusung berbagai sarana penobatan Raja dari Istana-nya ke tempat-nya berdiri.
Disitu Mandhatar menginginkan sebuah istana.
Tiba-tiba, secara ajaib muncul-lah sebuah Istana megah.

Setelah pertunjukkan mukjizat pada hari penobatan-nya selesai sesuai keinginan-nya,
Mandhatar pun dinobatkan menjadi Raja yang terbekali dengan Tujuh Mestika Raja Semesta,
yaitu sebuah Roda Dharma, seekor gajah, seekor kuda, sebuah permata, seorang Jenderal,
seorang Istri, dan seorang bendahara.


Sejak menjadi Raja, Mandhatar selalu ingin memakmurkan rakyat-nya dengan kesaktian-nya.

Ketika ia melihat rakyat-nya bekerja begitu keras untuk bercocok tanam,
ia langsung menurunkan hujan gandum dari Langit.

Ketika ia melihat bagaimana sulit-nya mereka menanam kapas, 
ia langsung membuat hujan kapas.
Kemudian ia melihat bahwa rakyat-nya masih harus memintal kapas-kapas itu,
ia langsung mencurahkan hujan benang untuk mereka.

Dan ketika ia melihat benang-benang sedang memintal di Angkasa,
ia langsung menciptakan hujan pakaian.



Setelah keajaiban-keajaiban itu, Mandhatar bertanya kepada para Menteri-nya,
berkat siapa-kah hal-hal itu bisa terjadi. Ia terkejut mendengar jawaban mereka,
"Berkat Paduka dan berkat kami semua!"

Mandhatar tidak senang dengan jawaban itu.
Ia ingin menunjukkan kepada mereka bahwa semua hal ajaib itu terjadi berkat dia seorang.
Untuk membuktikan bahwa ia saja yang punya kekuatan itu,
Mandhatar mendatangkan hujan emas di kamar-nya saja selama tujuh hari.
Para Menteri yang melihat hal itu akhirnya percaya pada-nya dan tertunduk malu.

Belum puas atas keberhasilan-nya dan menjadi makin berambisi,
Mandhatar bertanya kepada Yaksa Diwaukasa, wilayah mana yang belum dibawah kekuasaan-nya.
Yaksa Diwaukasa menyebutkan, "Negeri Purwawideha, Paduka!".


Mandhatar beserta pasukan-nya langsung berangkat untuk merebut Negeri Purwawideha.
Mereka tidak menempuh perjalanan lewat darat,
namun terbang di langit dengan didahului Tujuh Mestika Raja Semesta.

Setelah menaklukkan Negeri Purwawideha, Mandhatar bertanya lagi kepada Yaksa Diwaukasa
untuk menunjukkan negeri mana lagi yang perlu ditaklukkan-nya.
Setelah itu, ia dan pasukan-nya melakukan perjalanan keliling dunia,
menundukkan setiap negeri hingga tidak ada lagi negeri yang tidak berada dibawah kekuasaan-nya.


Setelah semua negeri di Bumi dikuasai Mandhatar,
Yaksa Diwaukasa menyarankan Mandhatar
untuk mengunjungi Surga Trayasringsa, tempat tinggal para Dewa-Dewi.

Ketika Mandhatar mencapai pintu gerbang Istana Surga,
pasukan-nya dihadang oleh para Penjaga Istana.
Namun, Mandhatar berhasil memaksa para penjaga untuk membuka jalan
dan mengumumkan kehadiran-nya dengan kesaktian-nya,
sehingga seolah para penjaga itu adalah utusan Mandhatar sendiri.


Dewa-dewa dari Gunung Semeru menyadari bahwa kesaktian Mandhatar
adalah buah dari tumpukan perbuatan baik-nya pada masa lalu.
Mereka pun memutuskan untuk menyambut-nya.


Ketika memasuki ruang pertemuan para Dewa, 
Mandhatar menyatakan
bahwa Sakra, Raja Para Dewa, harus memberi-nya setengah Tahta-nya.
Raja Sakra tidak mampu menolak permintaan itu karena Mandhatar sangat sakti.


Saat itu-lah Mandhatar dan Sakra duduk di singgasana yang sama.
Karena wajah mereka mirip sekali, tak ada yang mampu membedakan mereka.
Hanya ada satu perbedaan dari Raja Manusia dan Raja Dewa itu:
mata Mandhatar masih bisa berkedip, sedang mata Dewa Sakra tidak.


Tak lama sesudah penobatan itu, para Ashura, makhluk alam bawah,
menyerang Surga Trayasringsa. Para Dewa di Surga Trayasringsa sempat terdesak.
Saat itu Mandhatar mengendarai kereta kuda-nya di atas para Ashura
dan mengalahkan pasukan Ashura.
Berkat kumpulan perbuatan baik Manhantar pada masa silam,
para Ashura pun berhasil ditundukkan-nya.

Mandhatar bertanya kepada para Menteri Surga Trayasringsa,
"Milik siapa kemenangan ini ?"
"Milik Paduka!" sahut para Menteri.

Karena sifat-nya penuh kesombongan, 
Mandhatar dipenuhi keinginan
untuk mengusir Dewa Sakra keluar dari Tahta-nya,
agar Mandhatar dapat memimpin para Dewa dan Manusia.
Akan tetapi, saat pemikiran itu muncul di pikiran-nya,
seketika itu juga Mandhatar jatuh ke Bumi !


Mandhatar jatuh dan mendarat di kebun Istana-nya sendiri.
Tukang kebun Istana lalu mengumumkan keadaan Mandhatar kepada Keluarga Istana.
Ketika mengetahui bahwa Raja mereka sedang menjemput kematian-nya,
para pengikut Mandhatar mengelilingi-nya dan meminta pesan terakhir dari-nya.
Mandhatar berkata lirih,


"Aku telah mendapatkan apa pun,
Aku telah menguasai mana pun,
Aku telah mengungguli siapa pun,
Namun entah mengapa,
Aku tak pernah merasa bahagia,
Karena hati-ku tak pernah cukup rasa-nya..."



Sejak itu, para pengikut Mandhatar mendirikan sebuah stupa untuk mengenang-nya.
Stupa itu juga menjadi tempat merenung bagi para pengunjung yang datang kesana.

Tiada kebahagiaan yang melebihi hati yang merasa cukup.


Tatkala Buddha Gautama mengakhiri kisah ini, Ia membabarkan Empat Kebenaran Mulia,
dan menyatakan:

"Pada saat itu, Aku adalah Mandhatar, Penguasa Bumi dan Surga"
"Kecukupan hati adalah kekayaan tertinggi."


(Buddha Gautama,Dharmapada 204)


* * * * *

Di mana ada Mentari dan Rembulan beredar,
segala isi-nya, siapa saja adalah abdi Mandhatar.
Di mana ada belahan Bumi beroleh cahaya,
Di sana Raja Mandhatar menampuk kuasa.

Sekalipun hujan harta tercurah dari Langit,
Namun tetap saja terasa sedikit.
Hasrat adalah duka, resah adalah nestapa,
Ia yang mengerti ini, terbekahi dan bijaksana.

Tatkala ada damba, kesenangan melambung diri,
Meski hasrat ditujukan pada yang surgawi.
Para siswa Buddha pun berupaya,
Tuk hancurkan segala hasrat sepenuh-nya.

(Jataka 258)


Sumber :
Majalah Sadhu Seri ke-4 "Mandhatar, Penguasa Bumi dan Surga"
Penerbit : Ehipassiko Foundation