Cari Blog Ini

19 Januari 2011

Dalam Kegelapan Tidak Ada Cantik dan Buruk

Dalam perjalanan kereta api New York – Boston,
di sebelahku duduk seorang lelaki tua tuna netra.
Dosen pembimbing tesis PhD-ku adalah seorang tuna netra,
sebab itu ngobrol dengan orang tuna netra bukan hal sulit bagiku,
aku bahkan membuatkan kopi panas untuknya.

Waktu itu kebetulan sedang terjadi kerusuhan rasial di Los Angeles,
dengan sendirinya pembicaraan kami menjurus pada permasalahan rasial.
Lelaki tua itu memberitahuku, dia orang Amerika Selatan,
sejak kecil memandang rendah orang kulit hitam.
Pembantu di rumahnya adalah kulit hitam,
selama di selatan dia tidak pernah makan semeja dengan orang kulit hitam.
Juga tak pernah satu sekolah dengan orang kulit hitam.

Saat menuntut ilmu di Amerika Utara,
pernah ketika ditunjuk oleh-oleh teman-teman sekelasnya untuk mengadakan pesta barbecue,
di dalam undangan dia tuliskan:

“Kami berhak menolak kehadiran siapa saja.”

Kalau di selatan, ucapan ini berarti:

“Kami tidak menerima orang kulit hitam.”

Hal itu menimbulkan keributan di kelasnya.
Akibatnya dia dimarahi oleh wali dosennya.
Dia bilang ada kalanya bertemu pegawai toko berkulit hitam.
Waktu membayar dia selalu meletakkan uangnya di atas meja kasir
agar diambil sendiri oleh pegawai kulit hitam itu,
dia tidak sudi bersentuhan dengan tangan orang itu.
Aku tertawa bertanya padanya,

“Kalau gitu kamu pasti tidak mungkin menikah dengan orang kulit hitam! ”

Dia tertawa keras,

“Aku tidak berhubungan dengan mereka,
mana mungkin bisa menikah dengan orang kulit hitam?

Bicara sejujurnya, aku waktu itu beranggapan bahwa
setiap orang kulit putih yang menikah dengan orang kulit hitam,
itu adalah aib bagi ayah ibunya.”

Namun, ketika menempuh S2 di Boston, dia mengalami kecelakaan.
Meski tidak membahayakan jiwanya, tetapi kedua matanya buta total,
dia tidak dapat melihat sama sekali.
Dia kemudian menjadi siswa sekolah tuna netra belajar menulis huruf braille,
berjalan dengan bantuan tongkat dan sebagainya.

Berangsur-angsur dia mulai bisa hidup sendiri tanpa mengandalkan orang lain.
Dia berucap,

“Tapi yang membuatku paling pusing adalah aku tak tahu orang di hadapanku
apakah orang kulit hitam.
Aku mengutarakan permasalahanku pada psikolog pembimbingku,
dia berusaha meluruskan pandanganku.
Aku sangat mempercayainya, apa saja kuberitahukan padanya.
Dia kuanggap sebagai guru dan teman baikku. ”

Suatu hari, psikolog pembimbing itu memberitahuku, dia adalah orang kulit hitam.
Sejak itu pandangan rasialisku pelan-pelan pupuslah sudah, aku tidak dapat melihat
apakah orang itu kulit putih atau kulit hitam.

Bagiku, aku hanya tahu dia orang baik atau orang jahat,
tentang warna kulit, sudah tidak ada artinya bagiku. ”

Menjelang tiba di Boston, orang tua itu berkata,

“Aku kehilangan penglihatan, juga kehilangan pandangan rasialis,
hal yang sangat membahagiakan! ”

Istri orang tua itu sudah menunggu di halte, keduanya saling berpelukan dengan mesra.
Aku terkejut, ternyata istrinya adalah seorang kulit hitam yang rambutnya sudah berwarna putih semua.
Saat itulah aku baru sadar, penglihatanku baik sebab itu pandangan rasialisku juga masih ada,
hal yang sangat disayangkan!

Ini adalah kisah yang sangat menyentuh, membuatku teringat akan kisah Pangeran Kecil.
Rahasia yang diberikan oleh rubah pangeran kecil kepada pangeran adalah:

“Sesuatu yang paling berharga bukan sesuatu yang tampak oleh mata,
kamu harus merasakannya dengan hatimu. ”
 
Bisa didengar, bisa dilihat, jangan terlalu dipercaya,
hanya yang dirasakan, dialami, dihayati dengan hati, itu barulah Jalan Tengah....

(Diterjemahkan dari artikel 黑暗中沒有美與醜,只有善與惡, penulis tidak dikenal)


Sumber :
Majalah Sinar Dharma Vol.8 No.1/2554BE
Februari 2010 - Juni 2010
Setetes Kebijaksanaan
Hal.1