Penyiksaan diri yang dilakukan pertapa Siddharta
yang menyakitkan dan berkepanjangan ternyata sia-sia belaka.
Penyiksaan diri tersebut ternyata
hanya menyebabkan merosotnya kekuatan yang sangat berharga.
Walaupun secara fisik Beliau adalah seorang yang "superman",
tetapi jika tubuh disiksa dan tidak dipelihara dengan baik
maka akhirnya sia-sia tak berguna.
Keagungan-Nya pudar sama sekali, sehingga hampir tidak dapat dikenali lagi.
Kulitnya yang berwarna keemasan berubah menjadi pucat,
syaraf dan otot-ototnya mengkerut, mataNya menjadi cekung dan kabur,
sehingga nampak seperti tengkorak hidup. Beliau hampir di ambang kematian.
Dalam keadaan yang kritis ini,
sementara Beliau masih bermaksud untuk berada dalam Keadaan Yang Tertinggi (Padhana),
tinggal di tepi sungai Neranjara,
berusaha dan merenungkan agar mencapai keadaan Perlindungan Sempurna,
datanglah Namuci (nama lain dari Mara)
mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
"Kamu kurus dan cacat. Dekat denganmu adalah kematian."
"Ratusan bagian (yang kamu punya) mati;
yang hidup (tetap ada) hanya satu.
Hiduplah, O Tuan yang baik! Kehidupan adalah lebih baik.
Dengan hidup, kamu dapat melakukan kebaikan."
"Dengan menempuh hidup membujang dan membuat api korban,
maka banyak kebaikan dapat dicapai.
Apa yang akan kamu capai dengan usaha ini?
Kesukaran adalah jalan dalam kehidupan,
sulit dan tidak mudah dikerjakan."
Mara mengucapkan itu sambil berdiri di hadapan Yang Mulia.
Kepada Mara yang berbicara demikian, yang Mulia menjawab:
"O yang jahat, kerabat manusia yang tidak berhati-hati!
Kamu telah datang kemari untuk kepentingan dirimu sendiri."
"Bahkan suatu kebaikan yang sekecil-kecilnya tidak berfaedah.
Kelihatannya, orang yang memerlukan kebaikan itu seharusnya kamu, Mara."
"Keyakinan (Saddha), pengendalian diri (Tapo), Semangat (Viriya),
dan Kebijaksanaan (Panna) adalah milikku.
Saya telah berbulat tekad, mengapa kamu bertanya tentang kehidupan?"
Bahkan aliran sungai yang berkelok-kelok pun akan menjadi kering.
Mengapa darah-Ku tidak akan mengering karena usaha begitu?"
Bila darah mengering, empedu dan lendir juga mengering.
Bila jasmani-Ku merana, pikiranku makin lama makin menjadi jernih.
Kesadaran kebijaksanaan dan konsentrasi-Ku makin menjadi teguh."
Sementara saya hidup demikian, mengalami sakit yang sangat hebat,
pikiran-Ku tidak mengandung nafsu. Itulah kesucian seorang makhluk."
"Nafsu keinginan (Kama), adalah bala tentaramu yang pertama.
Kedua disebut keengganan untuk hidup (Arati).
Ketiga adalah Kelaparan dan kehausan (Khuppipasa).
Kempat disebut Keinginan (Tanha).
Kelima adalah kemalasan dan kelambanan (Thina-Mida).
Keenam disebut Ketakutan (Bhiru).
Ketujuh adalah keragu-raguan (Vicikiccha),
dan kedelapan adalah Celaan dan keras kepala (Makkha Tambha).
Kesembilan adalah keuntungan (Labha), Pujian (Siloka)
dan Kehormatan (Sakkara), dan Nama Buruk (Yasa).
Kesepuluh adalah memuji diri sendiri dan mencela orang lain
(Attukkamasanaparavambhana)."
Inilah, Namuci, bala tentaramu, serombongan besar penjahat yang melawan.
Orang yang pengecut tidak mempu mengatasi tentara itu,
tetapi Saya dapat mengatasinya, mendapatkan kebahagiaan."
"Munja inilah yang saya perlihatkan.
Apakah gunanya hidup di dunia ini!
Bagi saya lebih baik mati dalam perjuangan dari pada hidup sebagai orang kalah!"
"Ada beberapa pertapa dan brahmana yang tidak terjerumus dalam perjuangan ini,
mereka tahu mengapa mereka menempuh jalan kesucian."
Pada saat itu muncullah Mara, dewa hawa nafsu
yang bermaksud menghalang-halangi pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung,
disertai bala tentaranya yang maha besar.
Balatentara itu kedepan, kekanan dan kekiri lebarnya 12 league
dan kebelakang sampai ke ujung cakrawala,
sedangkan tingginya 9 league.
Mara sang pemimpin membawa berbagai macam senjata
dan duduk di atas gajah Girimekkhala yang tingginya 150 league.
Melihat balatentara yang demikian besar
datang semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling pertapa Gotama,
seperti Maha Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala
dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu
dan pertapa Gotama dibiarkan sendirian
dengan hanya berlindung pada Sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya.
Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa Gotama
seperti Hujan besar disertai angin kencang dan halilintar
yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan penampakan-penampakan lain
yang mengerikan gagal semua.
Kemudian Mara menyambit pertapa Gotama dengan Cakkavuda (panah sakti)
tetapi setelah dekat ia berubah menjadi payung
yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Akhirnya, bumi menjadi saksi bahwa pertapa Gotama telah lulus
dari semua godaan dan layak untuk menjadi Buddha.
Kemudian Gajah Girimekhala berlutut di hadapan pertapa Gotama
dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan balatentaranya.
Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba
datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Sumber:
http://www.dasaparamita.co.cc/2009/03/menceritakan-kisah-buddha-mengalahkan.html