Cari Blog Ini

26 April 2012

Kisah Maitrakanyaka

Kisah Maitrakanyaka di Candi Borobudur

Ada di bingkai relief ke-106 sampai ke-112 dari Pintu Timur Candi.

Kisah ini bercerita mengenai perantauan Maitrakanyaka mengejar ambisi pribadinya,

tanpa memikirkan perasaan Ibu-nya.
Akibatnya Ia menemui nasib malang dan mendapatkan pelajaran berharga
bahwa seorang Anak harus berbakti kepada Orang tuanya
melebihi pencapaian duniawi apa pun.

Maitrakanyaka menjerit dan menyesali perbuatannya terhadap Ibunya.
Namun, di lubuk hatinya yang terdalam ia masih menyimpan cinta kasih.
Ia berkata,
"Ananda rela mengemban roda ini selama-lamanya.  
Semoga tidak ada lagi Anak yang akan melakukan perbuatan buruk yang sama denganku !"


* * * * *




Kisah Maitrakanyaka
~ Mengejar Ambisi Menuai Api

"Aku rela menanggung selamanya roda ini di kepalaku demi sesama.
Semoga tak ada lagi yang melakukan kejahatan seperti ini."


( Avadanasataka, XXXVI )



Di dinding utama galeri pertama,

di bawah rangkaian bingkai yang berisi Kisah Hidup Bodhisattva ( Lalitawistara ),

terdapat rangkaian bingkai relief yang disebut Awadana ( Kisah Kebajikan Agung ).

Awadana memuat Kisah Kelahiran Bodhisattva dan Para Siswa-Nya.

Salah satunya adalah Kisah Maitrakanyaka
yang ada di bingkai relief ke-106 sampai ke-112 dari Pintu Timur Candi.


* * *


Kisah Maitrakanyaka ini bersumber di Tripitaka Sanskerta ( Diwyawadana ).

Kisah ini bercerita mengenai perantauan Maitrakanyaka mengejar ambisi pribadinya,
tanpa memikirkan perasaan Ibu-nya.

Akibatnya Ia menemui nasib malang dan mendapatkan pelajaran berharga
bahwa seorang Anak harus berbakti kepada Orang tuanya
melebihi pencapaian duniawi apa pun.

~ ~ ~


Pada zaman dahulu kala, di kota Benares,
hiduplah seorang pedagang yang Istri-nya hendak melahirkan.
Temannya menyarankan bahwa sebelum Anak-nya lahir
Ia harus memberi nama Bayi Laki-laki-nya dengan nama Perempuan,
seperti yang dilakukan oleh Teman-teman-nya.
Bayi itu diberi nama Maitrakanyaka.

Ia tumbuh tanpa kekurangan apa pun.
Malangnya, ketika Ia masih kanak-kanak, Ayahnya meninggal karena kapal-nya tenggelam.


Ketika Maitrakanyaka sudah dewasa,
Ia menanyakan kepada Ibu-nya apa pekerjaan Ayahnya dahulu,
sebab Ia ingin meneruskannya seperti tradisi saat itu.

Karena takut Anaknya akan bernasib sama dengan Ayahnya,
Ibunya berkata mengatakan bahwa Ayahnya adalah pedangan kelontong.

Maka Maitrakanyaka pun membuka toko kelontong.
Pada hari pertama Ia mendapatkan 4 uang emas.
Ia memberikan uang itu kepada ibunya untuk didermakan.

* * *

Kemudian, ada yang memberitahu
bahwa Ayahnya dulu pernah menjadi pedagang wewangian.
Maka Maitrakanyaka menutup tokonya dan memulai wewangian.
Pada hari pertama berjualan wewangian, Ia mendapatkan 8 uang emas.
Lalu uangnya Ia berikan lagi kepada Ibunya.

* * *


Suatu hari, Ia diberitahu oleh Orang lainnya lagi
bahwa Ayahnya pernah berjualan emas.

Memercayai hal itu Maitrakanyaka beralih menjadi Pedagang emas.
Karena kejujuran dan kecakapannya,
pada hari pertama membuka usaha Ia mendapatkan 16 uang emas,
lalu esoknya mendapatkan 32 uang emas.
Ia memberikan penghasilannya kepada Ibunya untuk didermakan.

* * *


Para Pedangang lain iri melihat Maitrakanyaka semakin sukses dan kaya.
Mereka ingin Maitrakanyaka tidak bersaing dengan mereka lagi.
Salah satu pedagang yang iri berkata bahwa dahulu
Ayah Maitrakanyaka  adalah Pelayar yang pemberani.
Ayahnya hilang saat kapalnya tenggelam.
Ia lalu menantang Maitrakanyaka untuk menjadi Pelayar seperti Ayahnya.


Maitrakanyaka tidak percaya dengan omongan Pedagang itu.
Maitrakanyaka lalu pulang untuk menanyakannya kepada Ibunya.
Di rumah, Maitrakanyaka  langsung menanyakan tentang Ayahnya,

"Ibu, benarkah Ayah dulu adalah Pelayar yang pemberani ?"

Ibunya tak kuasa menutupi kebenaran lagi.
Ia pun menjawab,

"Benar Nak... tapi kamu jangan jadi Pelayar, Ibu takut kamu celaka."

"Seorang Anak harus mengikuti jejak Ayahnya, Bu!", kata Maitrakanyaka.

* * *


Maitrakanyaka lalu bersiap untuk berdagang ke luar negeri dengan Teman-teman-nya.
Meskipun Sang Ibu memohon pada Anaknya untuk tidak pergi,
Maitrakanyaka menolak.
Maitrakanyaka malah marah besar dan menendang kepala Ibunya.
Maitrakanyaka pun pergi berlayar.

Di perjalanan, kapalnya terkena badai hingga tenggelam.
Maitrakanyaka berpegangan pada gelondongan kayu dan terombang-ambing di Samudra luas. Maitrakanyaka kemudian terdampar di sebuah pulau.

Agar bertahan hidup, Maitrakanyaka berjalan ke pedalaman pulau.
Ia berharap bisa menemukan tempat yang berpenduduk.

* * *

Akhirnya, Ia sampai di sebuah Kota.
Ia disambut oleh 4 Bidadari cantik di pintu gerbang,
"Selamat datang di Ramanaka, Maitrakanyaka. Kami siap melayanimu."


Setelah melewatkan waktu bersama banyak Bidadari,
Ia melanjutkan perjalanan dan sampai di Nandana,
dimana 16 Bidadari cantik menunggu di pintu gerbang.

Selanjutnya, Ia menempuh perjalanan ke selatan dan sampai ke tempat bernama Brahmottara.
32 Bidadari menunggu untuk menyambutnya.
Tapi di sini pun, keinginannya untuk meneruskan perjalanan tidak tertahan.
Setelah meninggalkan kota penuh kesenangan ini,
sampailah Ia di Ayomaya.

Maitrakanyaka memasuki gerbang yang tinggi dan besar.
Tiba-tiba gerbang pintu kota di belakangnya tertutup.
Maitrakanyaka terlompat kaget !

Di tengah tempat itu, Ia melihat orang yang tersiksa berdarah-darah
dengan roda membara mengerus kepalanya.
Maitrakanyaka pun bertanya kepada orang itu.

"Mengapa kamu disiksa roda api ?"

Orang itu menjawab,
"Ini hukuman bagi Mereka yang memperlakukan Ibunya dengan buruk !"


Maitrakanyaka sangat kaget dengan jawaban orang itu.
Seketika itu, roda api berpindah ke kepala Maitrakanyaka.
Hukuman sekarang berganti ke Maitrakanyaka !

Maitrakanyaka tersiksa roda api di kepalanya
dan Orang yang tadinya tersiksa itu akhirnya terbebas.

Orang itu berkata kepada Maitrakanyaka,

"Kamu akan tersiksa selama 66.000 tahun 
sampai Orang yang berbuat sama datang menggantikanmu."

* * *


Maitrakanyaka menjerit dan menyesali perbuatannya terhadap Ibunya.
Namun, di lubuk hatinya yang terdalam ia masih menyimpan cinta kasih.

Ia berkata,


"Ananda rela mengemban roda ini selama-lamanya. 

Semoga tidak ada lagi Anak yang akan melakukan perbuatan buruk yang sama denganku !"



Berkat Tekad Cinta Kasih-nya,
saat itu juga Maitrakanyaka meninggal dan terlahir lagi di Surga Tusita.


Sumber:
SADHU - Sahabat Anak Dharma Universal
Edisi 10
Ehipassiko Foundation