Cari Blog Ini

03 April 2012

Serakah atau Ikrar? - Keinginan atau Kebutuhan?

Master Sheng Yen menjelaskan perbedaan antara serakah dan ikrar.

Keserakahan itu berasal dari mana?
Mengapa keserakahan itu dikatakan tidak baik bagi dunia dan masyarakat?
Bukankah keserakahan itu mendorong kita untuk berjuang keras?

Karena serakah maka kita tumbuh berkembang terus menerus,
karena serakah maka kita menjadi sukses.
Lalu, di mana keburukan keserakahan itu?

Sebuah pertanyaan yang bagus.
Sheng Yen menjelaskan,
definisi serakah itu terletak pada adakah ‘aku’ di dalamnya?
Keserakahan yang berpusat pada ‘aku’ adalah ‘kekotoran batin’,
mendatangkan kesulitan bagi diri sendiri maupun masyarakat.

Sedang kehendak yang tidak berpusat pada ‘aku’ dinamakan ‘ikrar welas asih’,
itu bukan keserakahan.
Ikrar menumbuhkan kebijaksanaan,
pahala duniawi dan moralitas bagi diri sendiri,
pun mendatangkan kebahagiaan, cahaya penerang dan keharmonisan,
baik bagi masyarakat maupun makhluk hidup.


Lebih lanjut, perbuatan yang dilakukan demi memenuhi ‘keinginan’
dengan menghalalkan segala macam cara, itu adalah keserakahan.
Perbuatan yang dilakukan demi memenuhi ‘kebutuhan’ makhluk hidup,
itu adalah ikrar.

‘Keinginan’ itu tidak ada batasnya,
sedang ‘kebutuhan’ ada batasnya.

Memenuhi ‘kebutuhan’ makhluk hidup, itu bukan serakah;
tetapi memenuhi ‘kebutuhan’ diri sendiri tidak bisa disebut sebagai ikrar
karena mengandung keserakahan, serakah akan kepentingan diri sendiri.

Keserakahan terbagi menjadi dua tingkatan,
tingkatan pertama mengandung ‘aku’ dinamakan keserakahan hati,
tingkatan kedua tanpa ‘aku’ disebut sebagai ikrar.

Adanya keserakahan hati membuat kita tidak dapat mencapai pencerahan
‘memahami batin menampak benih sejati’.
Ikrar akan menuntun pada pencerahan,
namun ikrar yang di dalamnya mengandung ‘aku’,
itu adalah ikrar yang tidak murni,
adalah keserakahan hati bukan memahami batin.

Sheng Yen menjelaskan bahwa memahami batin menampak benih sejati bukan hal yang sulit,
asal kita mampu mengubah keserakahan menjadi ikrar.
Misal, mereka yang mengembangkan ikrar welas asih
tidak akan serakah akan kehidupan dan takut menghadapi kematian.
Mengapa kita takut mati?
Karena adanya kebodohan batin yang berpusat pada ‘aku’.

Bodhisattva Ksitigarbha (Dizangwang Pusa) justru berikrar:

“Kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang masuk neraka?”
Meski ada unsur ‘aku’, tapi itu adalah ‘aku’ yang welas asih,
tidak lagi takut akan kematian karena itu adalah
‘aku’  yang ingin menolong para makhluk yang terjatuh ke dalam kobaran api neraka.

Bodhisattva tidak takut dan tidak menderita
meski mengorbankan hidupnya bagi kebahagiaan para makhluk
karena itu adalah perbuatan mulia yang layak dilakukan,
kematian itu sendiri bukan berarti semuanya berakhir.
Kematian hanyalah sebuah proses dan tahapan dalam mencapai Kebuddhaan.

Sumber:
Majalah Sinar Dharma Vol.9 No.12 / 2555 BE
Maret  2011 - Oktober 2011
Hal.3