Cari Blog Ini

03 Juni 2012

Kisah tentang Unmadayanti - Unmadayanti Jataka

Dan karena Aku senantiasa memikirkan Kebajikan Rakyatku,
Aku harus terus mencintai Jalan Kebajikan, sejalan dengan ketenaranku.
Sebagaimana lembu yang mengikuti Pemimpin kawanan ke mana pun,
benar atau salah, demikianlah agar Rakyat meniru Pemimpinnya tanpa merasa terpaksa.

* * *

Orang yang baik senantiasa merasa enggan untuk mengikuti jalan hina. 
Bahkan pada saat sakit dengan penderitaan berat, 
keteguhan mendorongnya untuk mempertahankan kegigihannya.

* * * * *



UNMADAYANTI JATAKA
KISAH TENTANG UNMADAYANTI
Jatakamala


Bodhisattva, dalam berbagai kelahirannya
senantiasa berusaha demi Kebajikan Makhluk hidup melalui sifat-sifat utama ;
Kebenaran, Kemurahan Hati, Keseimbangan dan Kebijaksanaan.

Saat terlahir sebagai Raja Shibi,
sebagai perwujudan Dharma dan pengendalian diri,
Ia dapat memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh Rakyatnya
seperti seorang Ayah yang memperhatikan Anak-anaknya,
mempengaruhi mereka untuk mengembangkan sifat baiknya dan agar berpaling dari perbuatan salah.
Sehingga Rakyatnya bersukacita baik dalam hidup saat ini maupun selanjutnya.

* * *


Raja menyusun keadilan berdasarkan Dharma,
memperlakukan sama baik Sanak Saudara sendiri maupun Masyarakat umum.
Karena Rakyat didorong untuk melaksanakan Perbuatan Baik serta menghindari jalan yang salah,
tangga menuju Alam Surga berangsur-angsur tercipta.

Menyadari bahwa kesejahteraan Dunia bergantung pada Kebenaran,
Raja merasa senang berada di jalan Dharma.
Senantiasa bertindak sesuai Dharma,
tak membiarkan Orang lain mengacaukan aturan tersebut,
dengan begitu Raja melindungi Rakyatnya.

* * *


Saat itu secara kebetulan salah seorang Pemimpin di Kota Sang Raja,
mempunyai seorang Anak perempuan yang kecantikannya sangat luar biasa,
seorang gadis yang sangat mengagumkan, bahkan ia tampak bagaikan titisan bidadari.
Hanya sekilas memandangnya
menyebabkan siapa pun tak mungkin tak ingin terus memandanginya,
begitu kuatnya daya tarik yang dipancarkannya.
Karena alasan inilah, keluarganya memanggilnya Unmadayanti,
'Ia yang membuat pria tergila-gila' .

Tak perlu diceritakan,
Ayahnya kehabisan waktu menceritakan keadaan Putrinya kepada Raja.
"Sri Baginda," ujarnya,
"sebuah mutiara sejati di antara Wanita telah muncul di Negeri Baginda.
Mohon perkenan Baginda
untuk menimbang mungkin atau tidak Baginda menerimanya sebagai Istri."

Dengan segera Raja memerintahkan serombongan Brahmana
yang sangat memahami tanda-tanda keberuntungan
yang terdapat pada seorang Wanita, untuk mengunjungi gadis tersebut
dan memastikan apakah sesuai atau tidak untuk dijadikan Istri.

* * *


Demikianlah Ayah Unmadayanti membawa Para Brahmana ke rumahnya
di mana mereka hendak menemui Putrinya.
Diminta menemani tamunya,
Ia lalu mulai menyajikan makanan dengan sikap yang sopan,
akan tetapi segera setelah Para Brahmana memandangnya,
Para Brahmana telah kehilangan pengendalian dirinya,
seolah mata serta pikiran mereka telah direnggut oleh minuman yang sangat keras.

Memperhatikan Para Brahmana tersebut
telah kehilangan sama sekali selera makannya,
dan bahwa tata krama serta sikapnya yang segera lengah,
Perumah Tangga tersebut menarik Putrinya dari pandangan serta melayani Brahmana.
Saat meninggalkan makan malamnya, Para Brahmana berbicara di antara mereka :

"Daya tariknya merasuki bagaikan mantra sakti.
Sekilas pandang terhadapnya,
akan menggugurkan kesucian seorang Pertapa yang mengusahakan kebijaksanaan;
apalagi terhadap seorang Pangeran muda yang hidup dalam kesenangan indriawi' ?

Sungguh tidak bijaksana bila Raja sampai melihatnya,
apalagi menjadikannya sebagai Permaisuri.
Kecantikannya akan membuatnya mabuk kepayang;
perhatiannya pada kewajiban, baik agama maupun politik akan lenyap.
Tak ada kebaikan yang akan disebabkannya,
dan pada akhirnya, Rakyatlah yang akan menderita."

* * *


Setelah menetapkan sikapnya, mereka lalu melapor kepada Raja :

"Baginda, kami telah melihat gadis tersebut.
Memang benar adanya bahwa Ia sangat menarik dan memiliki kecantikan, tapi tak lebih dari itu;
sayangnya, Ia memiliki tanda yang tak menguntungkan,
bisa menyebabkan kejatuhan serta kemalangan.
Sri Baginda sebaiknya jangan sampai melihatnya, apalagi menikahinya.
Seorang Istri yang buruk adalah kabut bagi keagungan serta kekayaan kedua Keluarga,
seperti mendung malam yang menyelubungi bulan,
mengaburkan keindahan serta keteraturan Surga dan juga Bumi."

Percaya bahwa gadis tersebut benar-benar menyandang tanda yang tak menguntungkan
dan dengan  demikian tidak sesuai bagi kedudukannya,
Raja kehilangan seluruh keinginan untuk memilikinya.
Segera setelah itu, Perumah Tangga tersebut menikahkan Putrinya dengan Abhiparaga,
seorang Pejabat di Istana Raja.

* * *


Beberapa waktu kemudian,
Raja memutuskan untuk berkeliling menjelajahi Kotanya
untuk menyaksikan suatu Perayaan Keagamaan.
Ia berjalan menelusuri Kota di atas kereta Kerajaan, senang pada hiasan serta kemeriahannya.

Jalanan telah  disiram dan dibersihkan,
tanah berwarna putih telah ditaburi dengan bunga berbagai warna,
sementara di atas berkibar bendera warna-warni serta panji-panji yang menarik.
Di mana-mana terdapat tari-tarian, nyanyian, sandiwara serta gamelan.
Aroma harum bunga bercampur dengan berbagai aroma berlimpah dari dupa,
serbuk wewangian, minyak wangi serta arak.
Barang-barang bagus dijajakan di antara keramaian penduduk yang bersukaria,
yang mengenakan busana terbaik mereka.

* * *


Dalam perjalanannya Raja mendekati rumah Abhiparaga.
Di sana Unmadayanti marah terhadap Raja karena Ia telah menolaknya,
'Yang merupakan tanda kesialan', berdiri di atas atap datar rumah,
bermaksud membuatnya takjub melihat dirinya.
Ketika kilasan cahaya kilat menerangi awan, membuatnya terlihat dalam pandangan.
Dan Ia merasa ragu di dalam hatinya
bila Raja tetap dapat teguh tak tergoyahkan
oleh Orang yang tak membawa keberuntungan seperti dirinya.

Saat Ia memandangnya, mata Sang Raja tertuju padanya.
Saat itu Raja telah terbiasa dengan hawa sembarangan kecantikan para Selirnya.

Ia juga memiliki sikap kesopanan, sangat teguh,
dan memiliki rasa malu yang sangat kuat.
Terikat pada Jalan Kebajikan,
sehingga benar-benar sangat takut untuk memandang wanita muda yang terikat dengan orang lain,
Ia sesungguhnya sedang mengalahkan indriawinya sendiri.

Namun demikian dirinya bukanlah tandingan Dewa Asmara.
Tak sanggup untuk berpaling, Raja lama memandanginya.

"Apakah itu Dewi penunggu rumah?" pikirnya.
"Apakah Ia seorang Apsari ataukah Ia seorang Yaksi ?
Ataukah Ia Kumuda, Istri kesayangan Bhatara Candra ?
Pasti dia bukan Manusia."

Demikianlah Raja terus bertanya-tanya ketika keretanya terus berjalan.
Pulang ke Istananya seperti Orang yang kehilangan kesadaran,
Ia sama sekali tak memikirkan hal lain kecuali wanita itu,
keteguhan hatinya benar-benar hancur.

* * *


Setelah beberapa hari, Ia memanggil kusirnya, Sunanda,
untuk menghadap lalu Ia bertanya :
"Rumah siapakah yang dikelilingi oleh tembok putih itu ?
Dan siapakah Wanita yang kecantikannya bercahaya
bagaikan kilat di dalam awan putih itu ?"

Sunanda menjawab:
"Baginda mempunyai seorang Pejabat tinggi bernama Abhiparaga.
Itu rumahnya, dan Wanita itu Istrinya.
Dia Putri Kiritavaba; Orang-orang memanggilnya Unmadayanti,
'Ia yang membuat pria tergila-gila' ."


Mengetahui bahwa Wanita tersebut adalah Istri orang, membuat Raja jatuh kecewa.
Menarik nafasnya panjang serta dalam, matanya menerawang tak berkedip,
Ia berkata kepada dirinya sendiri dengan suara yang pelan :
"Aduh! Makhluk itu memang sesuai dengan yang dipanggil Orang,
karena senyum manisnya telah membuat hatiku galau.
Di mana kelemahan diriku terhadap Istri orang lain ini
sama artinya aku sesungguhnya gila.
Alangkah menyenangkannya bila aku dapat melupakannya !

"Meskipun ia tak jauh dari pikiranku; ia telah menguasai pikiranku.
Rasa malu telah meninggalkanku dan demikian pula dengan rasa kantuk.
Alangkah menyenangkan
bila aku dapat memberikan pada diriku sendiri wujudnya yang menawan,
matanya, senyumnya, kecantikannya.
Bunyi bende yang berusaha menahanku pada tugas-tugas kerajaan
hanya membangkitkan kemarahanku. "

Demikianlah Raja benar-benar hanyut oleh kekuatan nafsu asmara.
Berusaha untuk dapat menata pikirannya,
atau menyembunyikan keadaan tersebut,
matanya yang menerawang serta tak berkedip,
tubuhnya yang kurus dan penampilannya yang merana mengungkapkan isi hatinya,
membuat semua orang ingin melihatnya.

* * *


Abhiparaga, Pejabat Istana Raja, yang pandai melihat gelagat,
segera memahami perubahan sikap Rajanya.
Menemukan yang menjadi sebab musababnya,
dan juga sangat memahami keampuhan kekuatan Dewa Asmara,
Ia mengerti akibat buruknya sebelum obat penawarnya ditemukan.

Karena Ia sangat mencintai Rajanya,
Ia meminta bertemu secara pribadi, mendekati Rajanya, Ia lalu berkata :
"Pada waktu kami berdoa pagi ini, Oh Raja Yang Bermata Padma,
seorang Yaksa muncul di hadapan kami dan berkata :
'Raja telah jatuh hati pada Unmadayanti. Bagaimana Engkau tak mengetahuinya ? '

Lalu Ia menghilang. Dengan segera aku menghadapmu.
Jika yang dikatakannya memang benar, Sri Baginda, mengapa Anda hanya berdiam diri ?
Berilah kami  kesempatan untuk memberikannya. "

* * *


Raja merasa terhina dan tak sanggup mengangkat pandangannya karena malu.
Bahkan, meskipun dirinya  telah terjerat oleh genggaman cinta,
Ia tak membiarkan keteguhannya goyah, berkat kedalaman pengetahuan Dharmanya,
serta praktiknya yang gigih dan panjang.

"Tidak, itu tidak boleh," ujarnya pelan.

"Lagi pula apa alasannya?

Pertama, segala Kebajikanku akan musnah, aku tak akan hidup selamanya.
Kedua, perbuatan jahatku pada akhirnya juga akan diketahui oleh umum.
Dan akhirnya, saat dirimu berpisah dengan Istrimu,
engkau akan terbakar oleh api kesedihan,
api yang akan menghanguskanmu seperti api yang meludeskan rumput kering.
Perbuatan yang kauanjurkan akan menyebabkan kesulitan
baik dalam hidup saat ini maupun yang akan datang.
Meskipun Orang bodoh akan menerima pemberianmu,
Orang bijak akan menolaknya karena alasan tersebut."


Abhiparaga menjawab:

"Jangan khawatir Anda akan melanggar ajaran Dharma, Baginda,
bukankah Dharma mengajarkan kita menerima pemberian yang diberikan ?
Karenanya engkau telah menyalahkan kami dengan menolak pemberian dari kami.
Baginda menghalangi  praktik kemurahan hati kami.
Tidak seharusnya Baginda khawatir merusak nama baik Baginda:
Ini dilakukan benar-benar hanya di antara kita berdua.
Tak perlu orang lain mengetahuinya!

Bahkan, kejadian ini merupakan berkah bagi kami, bukannya penderitaan.
Kesulitan apakah yang akan menimpa kami
bila perasaan puas hati kami yang terbesar adalah melayani Raja kami ?
Kami mohon kepada Baginda,
pergilah diam-diam dan penuhilah hasrat hati Baginda.
Tak akan ada hal buruk yang akan menimpa kami."

"Diam!" teriak raja.

"Jangan teruskan pikiran buruk itu!

Keterikatanmu kepadaku telah menghalangimu untuk menilai dengan benar.
Tidak setiap pemberian harus diterima.
Orang yang bersedia memberikan hidupnya kepadaku
benar-benar adalah Sahabatku, mengasihiku melebihi apa pun;
karenanya, wajib bagiku untuk juga menghargai Istrinya.
Kesalahan yang kaulakukan juga akan berakibat pada diriku.

"Akankah berkurang dosanya bilamana orang lain tak ada yang tahu ?

Melakukan perbuatan yang tidak ketahuan, berharap menemukan kebahagiaan,
sama bodohnya dengan meminum racun yang tak dilihat, berharap, untuk bisa hidup.
Baik Para Dewa yang bermata waskita maupun Para Pertapa Suci
yang ada di antara Umat Manusia tak pernah samar dalam melihat segala sesuatu.

"Bahkan, aku bertanya kepadamu :
Siapa yang percaya bila dirimu tidak mencintainya
atau bahwa dirimu tak akan sedih segera setelah Engkau memberikannya ? "


Abhiparaga menjawab:

"Engkau adalah Pelindung kami, Baginda.
Kami hanyalah Pelayan Anda, bersama dengan Istri dan juga Anak kami.
Peraturan apakah yang akan rusak
bilamana Engkau berbuat sesuka hatimu terhadap pelayan wanitamu ?
Apa masalahnya bilamana kami harus mencintainya ?
Pada dasamya, dengan pertimbangan itulah kami bermaksud untuk memberikannya kepadamu!
Mereka yang memberi sesuatu yang sangat berharga
memperoleh apa pun yang ia inginkan di dunia ini
dan kebahagiaan yang lebih besar dalam kehidupan yang akan datang.
Untuk itu, mohon terimalah dia."

* * *


Namun demikian Raja tetap menampiknya.

"Jangan berkata begitu! Itu tidak mungkin!
Lebih baik bagiku untuk melemparkan diri pada sebilah pedang tajam
atau kobaran api daripada melawan Dharma.
Mengingat aku senantiasa mengikuti tuntunannya,
Dharma sejati sesungguhnya merupakan sumber segala keagungan."


“Bagus sekali," ujar Abhiparaga.

"Karena Sri Baginda tak akan dapat memilikinya sebab Ia telah menjadi Istri kami,
kami akan memintanya agar melacurkan diri.
Siapa pun dapat menginginkannya, ia akan menjadi milikmu bila diinginkan."

"Apakah engkau sudah gila?" tanya Raja.

"Untuk mencegah kecuranganmu terhadap Istrimu
akan membuatku terpaksa menghukummu,
perbuatan seperti itu juga menimbulkan belenggu
bahkan penuh kesedihan dan derita selama berkali-kali kehidupan.
Engkau harus menghentikan semua ini.
Arahkan pikiranmu pada sikap adil serta kemurnian."

* * *


Abhiparaga menegaskan :

"Apa pun akibatnya,
kami akan menghadapinya dengan senang hati demi kebahagiaan Baginda,
bahkan meskipun perbuatan kami  harus berlawanan dengan Dharma,
menimbulkan celaan pada kami dan menghancurkan kebahagiaan diri kami.
Tiada orang di dunia ini yang lebih pantas selain dirimu untuk dipuja,
Oh Penguasa Bumi Termulia.
Sebagaimana pemberian, tolonglah bantu kami mengembangkan Kebajikan,
terimalah Istri kami sebagai persembahan kepadamu."


Raja menjawab:

"Aku tahu hal ini terjadi akibat perhatianmu yang besar kepadaku
hingga mendorongmu mengusahakan Kebaikanku
tanpa memedulikan benar atau salah.
Akan tetapi kecintaan seperti itu membuatku berani mencegahmu lebih jauh.
Sama halnya dengan mencela orang lain yang tak dapat dimaafkan.

Lihatlah kemari !

Barang Siapa yang meninggalkan Kebajikan,
Ia tak mengerti baik celaan di Dunia ini dan akibat yang harus ditanggung selanjutnya,
memperoleh ketidakpercayaan sekarang dan membuang harapan kebahagiaan selanjutnya.

Orang seharusnya tidak mengambil kegembiraan dalam sesuatu yang salah.
Keuntungan adalah selalu berubah-ubah dan tak pasti,
derita hebat tiada diragukan lagi.



"Juga dianggap bahwa Kebajikan tidak menyukai
segala yang menyenangkan yang didapatkan dengan mengorbankan orang lain.

Berdirilah di atas pijakan Perbuatan Baik,
aku sendiri membayarnya dengan mengabaikan kesenangan diri,
dengan maksud agar tidak menyebabkan kesedihan bagi Orang lain mana pun."

* * *


Abhiparaga menanggapi :

"Tapi di manakah ketidakadilannya ?

Tergerak kecintaan kami kepada Pelindung kami, kami hanya ingin memberinya persembahan.
Setiap Orang Shibi, baik dari kota maupun desa, akan mendukung kami untuk bertanya :

"Di manakah letak ketidakadilan perbuatan ini ?
Di manakah kerugiannya ?
Karenanya berkenanlah menerimanya, Baginda."

"Jelas sekali, engkau telah merasakan Kebajikanku di hati.
Tetapi hentikan dan pikirkan.
Siapa yang memahami Dharma dengan baik di antara seluruh Orang Shibi, dirimu atau Rajamu ?"


Segera Abhiparaga menjawab:

"Dalam segala hal, Engkaulah Baginda yang sangat mengerti keadilan,
sebanding dengan Dewa Rsi Brhaspati.
Ketekunan Baginda belajar,
perhatian Baginda yang besar pada pengetahuan serta tradisi suci,
dan juga kebijaksanaan hakiki dalam hati Baginda, seluruhnya tiada banding."

* * *


Raja menjawab :

"Jika demikian, seharusnya kalian jangan memaksaku berbuat salah.

Karena ingatlah, jahat atau baiknya Rakyat bergantung pada perbuatan Pemimpinnya.
Dan karena aku senantiasa memikirkan Kebajikan Rakyatku,
Aku harus terus mencintai Jalan Kebajikan, sejalan dengan ketenaranku.
Sebagaimana lembu yang mengikuti Pemimpin kawanan ke mana pun,
benar atau salah, demikianlah agar Rakyat meniru Pemimpinnya tanpa merasa terpaksa.

"Pahamilah ini dengan baik.

Jika Aku tak sanggup mengatur diriku sendiri,
bagaimana Aku dapat memimpin Rakyatku, siapa yang menginginkan perlindunganku ?
Begitulah, dari sudut pandang Dharma dan kemasyhuranku yang bebas dari cela,
Aku tak akan membiarkan diriku menuruti nafsuku:
Aku adalah Pelindung bagi Rakyatku, Pemimpin bagi Bangsaku."

* * *


Akhirnya Abhiparaga, Abdi Raja, menundukkan diri kepada Raja,
tangannya beranjali penuh hormat.
Terhibur oleh ucapan Rajanya, Ia berkata :

"Baginda !
Rakyatmu merasa terberkati memiliki Raja seperti Anda, Raja Pelindung sepertimu !

Kecintaan pada Kebajikan yang hingga mengabaikan kesenangan jarang sekali ada,
bahkan di antara hutan Para Pertapa.
Bila Kebajikan diberikan pada seseorang yang tanpa Kebajikan,
itu merupakan suara yang membunuh serta mengecewakan,
sebagaimana jika Ia merasa puas oleh pujian.

Namun padamu, Oh Raja Agung, sebutan 'Agung' adalah perhiasan yang cemerlang.
Itulah sebabnya mengapa kami begitu takjub pada Kebajikan Baginda,
Engkau yang penuh Kebajikan sebagaimana samudra yang penuh dengan permata"

* *


Dari kisah ini Orang dapat melihat bagaimana Kebajikan,
meskipun di saat menderita kesedihan,
berkat praktik Dharmanya yang murni serta lama,
keteguhannya tak membiarkannya mengikuti jalan Orang yang berpikiran rendah.
Memahami hal ini, Orang dianjurkan untuk berusaha menjalankan praktik Dharma
serta mengembangkan keteguhan.


Sumber:
www.dhammacitta.org