Cari Blog Ini

09 Oktober 2010

Kisah Si Kura-Kura

Keluarga kura-kura memutuskan untuk pergi bertamasya.
Dasar kura-kura, dari sananya memang sudah serba lambat,
untuk mempersiapkan piknik ini saja mereka membutuhkan waktu tujuh tahun.

Akhirnya, keluarga kura-kura meninggalkan hunian mereka
dan pergi mencari tempat yang sesuai untuk kegiatan piknik mereka.
Baru pada tahun ke dua mereka temukan lokasi yang sesuai.
Selama enam bulan mereka membersihkan tempat itu,
membongkar semua keranjang perbekalan piknik, dan membenahi tempat itu.


Tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka lupa membawa garam.
Waduh, akan seperti apa jadinya piknik tanpa garam?
Mereka serempak setuju dan berteriak.
Ini bisa menjadi bencana luar biasa.
Setelah panjang lebar berdiskusi,
kura-kura termuda yang akhirnya diputuskan
untuk mengambil garam di rumah mereka.
Meskipun ia termasuk kura-kura tercepat dari semua kura-kura yang lambat,
si kura-kura kecil ini merengek, menangis
dan meronta-ronta dalam batoknya.

Ia akhirnya setuju pergi dengan satu syarat
bahwa tidak satupun boleh makan sampai ia kembali.
Keluarga kura-kura itu setuju dan si kura-kura kecil ini berangkat.
Tiga tahun lewat dan kura-kura kecil itu masih juga belum kembali.

Lima tahun....enam tahun.....lalu memasuki tahun ketujuh kepergiannya,
kura-kura tertua sudah tak tahan menahan laparnya.
Ia mengumumkan bahwa ia begitu lapar
dan akan mulai makan dan mulai membuka rotinya.
Pada saat itu, tiba-tiba si kura kecil muncul dari balik sebatang pohon,
lalu berteriak :

"LIHAT TUHHHH! benar kan ?
Aku tahu kalian memang tak akan menunggu.
Ahhh, sekarang aku tak mau pergi mengambil garam !"

Moral cerita :
Beberapa dari kita memboroskan waktu sekedar menunggu
ada orang lain yang melakukan pekerjaan kita.
Demikian pula kita sering begitu kuatir dan prihatin,
malah sering terlalu memperdulikan apa yang dikerjakan oleh orang lain,
sehingga kita cuma berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu sendiri.



Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/Paramita/Paramita%2030.pdf
* Majalah Paramita Edisi 30, Mei 2009, Hal. 59