Dahulu, disebuah desa kecil yang terpencil,
ada sebuah rumah yang dikenal dengan nama “Rumah Seribu Cermin”.
Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di desa itu
dan melintasi “Rumah Seribu Cermin”.
Ia tertarik pada rumah itu dan memutuskan
untuk masuk melihat-lihat apa yang ada didalamnya.
Sambil melompat-lompat ceria, ia menaiki tangga rumah
dan masuk melalui pintu depan.
Telinganya terangkat tinggi-tinggi.
Ekornya bergerak-gerak secepat mungkin.
Betapa terkejutnya ia ketika masuk ke dalam rumah,
ia melihat ada seribu wajah ceria anjing-anjing kecil
dengan ekor yang bergerak-gerak cepat.
Ia tersenyum lebar, dan seribu wajah anjing kecil itu
juga membalas dengan senyum lebar, hangat dan bersahabat.
Ketika ia meninggalkan rumah itu, ia berkata pada dirinya sendiri,
“Tempat ini sangat menyenangkan.
Suatu saat saya akan kembali mengunjunginya sesering mungkin.”
Sesaat setelah anjing itu pergi, datanglah anjing kecil yang lain.
Namun, anjing yang satu ini tidak seceria anjing yang sebelumnya.
Ia juga memasuki rumah itu.
Dengan perlahan ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu.
Ketika berada didalam,
ia terkejut melihat ada seribu wajah anjing kecil yang muram
dan tidak bersahabat.
Segera saja ia menyalak keras-keras,
dan dibalas juga dengan seribu gonggongan yang menyeramkan.
Ia merasa ketakutan dan keluar dari rumah sambil berkata pada dirinya sendiri,
“Tempat ini sungguh menakutkan, saya takkan pernah mau kembali ke sini lagi.”
Seringkali gambaran atau kesan tentang wajah yang ada di dunia ini,
yang kita lihat adalah cermin gambaran dan kesan dari wajah kita sendiri.
Kalau kita mengesankan keramahan, maka dunia akan tampak ramah.
Kalau dunia terasa suram, mungkin itu karena kesan yang kita berikan.
Jadi, wajah bagaimanakah yang tampak pada orang-orang yang kita jumpai?
Yang terlihat itu adalah gambaran wajah kita di mata orang lain.
Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/dawai/dawai%2051.pdf
* Majalah Dawai Edisi 51, November 2008, Hal 55
* www.dhammadipa.com