Cari Blog Ini

09 Oktober 2010

Setetes Pencerahan - Kulit Beras dalam Air Minum

Waidao (Jalan Luar), adalah seorang guru fengshui yang sangat termasyhur,
bahkan lebih termasyhur dibanding ilmu fengshui itu sendiri.
Aneh, tapi memang demikianlah kenyataannya.
Suatu ketika karena satu urusan penting, Waidao harus melakukan perjalanan jauh.
Setelah berjalan sedemikian jauh dan
bekal minuman yang dibawanya telah terkuras habis mengisi kerongkongannya,
sangat wajar kalau ia merasa sangat haus.

Kebetulan ia melalui sebuah dusun,
segera diketuknya rumah terdekat untuk meminta seteguk air sebagai pelepas dahaga.



Di rumah yang sangat sederhana itu berdiam seorang nenek bernama Shanliang (Bajik).
Nenek Shanliang dengan sangat ramahnya menyodorkan semangkuk air kepada Waidao.
Tapi anehnya, air minum yang diberikan oleh Nenek Shanliang itu
ternyata ditaburi kulit beras.

Bagi Waidao yang sangat kehausan,
alangkah nikmatnya bila air itu dapat diteguknya seketika.
Tetapi sayangnya, karena di atas permukaan air ditaburi kulit beras,
maka Waidao hanya dapat meminumnya seteguk demi seteguk.

Itupun dilakukannya dengan sambil meniup kulit beras
agar tidak terbawa masuk ke dalam mulutnya.
Timbul rasa benci dalam hati Waidao.
"Berani-beraninya mempermainkan diriku, lihat saja akan kubalas nanti!"

Setelah minum secukupnya, dengan hati yang berapi-api
tetapi tetap menampilkan raut wajah yang penuh senyum,
Waidao menyatakan terima kasih pada Nenek Shanliang dan para penghuni rumah itu.

"Aku adalah seorang guru fengshui.
Hari ini menerima kebaikan pemberian air minum dari kalian,
aku merasa sangat berterima kasih.
Demi membalas budi kebaikan kalian,
aku akan membantu melihat fengshui rumah ini."

Tidak menyangka hanya karena memberi air minum lalu menerima "rezeki" nomplok,
keluarga Shanliang dengan segera mempersilahkannya
melihat kondisi fengshui rumah mereka.

Waidao melihat sebidang tanah "kutukan" yang sangat buruk fengshuinya,
bahkan dapat menyebabkan keluarga itu terputus keturunannya.
Tanah itu terletak lebih rendah permukaannya dari tanah yang lain.

Waidao berkata,
"Ini merupakan sebidang tanah yang membawa hokkie.
Kelak bila ada keluarga yang meninggal, makamkan di sini,
untuk selanjutnya keluarga kalian akan kaya raya."

Keluarga Nenek Shanliang sangat senang mendengar ucapan Waidao,
serta merta mereka mengucapkan beribu-ribu terima kasih.
Beberapa tahun berlalu, Waidao sekali lagi melalui dusun itu.
Ia masih ingat akan penghinaan yang diterimanya
dan ingin mengetahui hasil dari pembalasannya.

Waidao yakin bahwa keluarga nenek itu pasti sudah menjadi fakir miskin.
Tetapi ia terperangah ketika melihat rumah Nenek Shanliang
telah berubah menjadi rumah gedung yang besar.

Waidao berpikir, mungkin saja rumah itu
telah dibeli orang dari luar dusun yang kaya raya.
Saat itulah pintu rumah terbuka.

Ternyata putra Nenek Shanliang.
Melihat Waidao, ia dengan gembira sekali mengundang guru fengshui ini
masuk ke dalam rumah.

Tuan rumah memperlakukan Waidao layaknya seorang raja.
Mereka menjelaskan bahwa ini semua untuk membalas budi Waidao,
karena petunjuk Waidaolah maka keluarga mereka menjadi kaya raya.

Waidao tak habis pikir,
selama ini perhitungan fengshuinya tak pernah meleset,
tetapi kenapa keluarga ini justru menjadi kaya raya?

"Ehm, saya koq tidak melihat Nenek Shanliang? Di mana beliau?"
Tanya Waidao.

"Ibu telah meninggal sekitar setahun setelah kedatangan Anda dulu,"
demikian jelas sang putra yang bernama Heping (Damai), "
dan sesuai petunjuak Anda, Ibu kami makamkan di tanah hokkie itu."
"Oh, ya?" Semakin tak habis mengerti Waidao,
bagaimana mungkin tanah "kutukan" itu berbalik menjadi tanah "hokkie"?
"Boleh saya menengok makam Nenek Shanliang?"
Dengan segera Heping mengantar Waidao menuju makam.
Benar, tak ada yang keliru, makam itu tepat berada di tengah lokasi tanah "kutukan",
hanya posisi tanah itu lebih tinggi dari semula.
Tak mungkin keluarga miskin itu mampu mengeluarkan biaya meninggikan posisi tanah kutukan,
pasti ada sesuatu yang terjadi, demikian pikir Waidao.

"Ehm, seingat saya tanah ini awalnya tidak setinggi ini," pancing Waidao.
"Oh ya, benar, kami juga tidak mengerti, ini tampaknya sudah kehendak Langit.
Tepat pada malam hari sebelum pemakaman Ibu, datanglah angin topan yang dahsyat.
Tanah hokkie yang rendah ini tertimbun rata oleh tanah longsor, sehingga posisinya menjadi lebih tinggi.

Tak peduli apapun yang terjadi,
kami tetap mengikuti petunjuk Anda memakamkannya di tanah ini.
Sejak itu keluarga kami menjadi kaya raya.
Sekali lagi, beribu-ribu terima kasih atas petunjuk Anda,"
ujar Heping dengan tulus.

"Amituofo, Amituofo."
Tanpa disadari muncul seorang bhiksu tua di belakang mereka.

"Oh, Bhiksu Xinming (Hati dan Nasib), koq tumben datang ke sini,"
sapa Heping.

"Guru Waidao,
Bhiksu Xinming ini datang di dusun ini tepat sehari sebelum pemakaman Ibu.
Sedang Guru Waidao adalah guru fengshui yang telah berjasa besar
pada keluarga kami," demikian Heping saling memperkenalkan kedua tokoh itu.


"Amituofo, Pinseng (anggota Sangha miskin, sebutan merendah bagi diri sendiri)
melihat adanya hubungan antara angin topan dengan tanah ini,
pun dengan kulit beras dalam minuman,"
ujar Xinming dengan perlahan tetapi mantap.


Keringat dingin mengucur di dahi Waidao,
khususnya saat mendengar ucapan yang terakhir dari Xinming.
"Kulit beras yang ditaburkan oleh Nenek Shanliang
bukan untuk mempermainkan seseorang,
melainkan berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati.
Adalah tidak baik bagi orang yang kehausan
untuk langsung meneguk air minum dengan rakus.

Menaburkan kulit beras adalah kebajikan yang dilakukan oleh Nenek Shanliang
agar orang yang kehausan itu tidak meneguk air minum dengan seketika
yang dapat membahayakan kesehatan yang bersangkutan."
Xinming berkata sambil menatap ke makam Shanliang.

"Menyerahkan keberuntungan dan bencana pada unsur di luar diri
adalah waidao – jalan luar.
Demikian pula mencari kebahagiaan dan pembebasan di luar diri sendiri,
itu adalah waidao.

Waidao adalah mencari kekuatan di luar diri sendiri
dan pasrah sepenuhnya pada kekuatan itu.
Ini berbeda dengan Buddha Dharma yang mengajarkan pelatihan diri
melepas kebodohan batin untuk mencapai kemurnian Nirvana,"

Xinming berucap dengan pandangan tak beralih dari makam.

"Shizhu (donatur pelindung Dharma) bukan orang yang bodoh,
pasti memahami ucapan Pinseng.
Hanya ini yang bisa Pinseng katakan.
Pintu gubuk Pinseng senantiasa terbuka.
Pinseng mohon diri. Amituofo,"
Xinming berlalu sambil mengumandangkan Xinming Ge (Lagu Hati dan Nasib).


Hati baik nasib juga baik, kaya dan berpangkat hingga tua.
Nasib baik hati tidak baik, keberuntungan berubah menjadi bencana.
Hati baik nasib tidak baik, bencana berubah menjadi keberuntungan.
Hati dan nasib tidak baik, tertimpa bencana dan miskin.
Hati bisa merubah nasib, yang terpenting adalah memiliki hati belas kasih.
Nasib tercipta dari hati, kebahagiaan dan kemalangan disebabkan oleh manusia.
Percaya nasib tidak membina hati, siang dan malam tidak bisa dipercaya.
Membina hati juga menerima nasib, langit dan bumi akan melindungi dengan sendirinya.


Heping yang tidak paham akan ucapan aneh Xinming hanya bisa terpaku diam.
Tetapi tidak demikian dengan Waidao.
Memang benar Waidao bukan orang bodoh seperti yang dikatakan Xinming.
Ia kini paham sepenuhnya.

Karma baik Nenek Shanlianglah yang menolong sanak keluarganya
terbebas dari pembalasan Waidao.
Hukum alam yang jauh lebih dahsyat dari tatanan fengshui muncul berperan
sebagai kondisi yang mematangkan buah karma baik Nenek Shanliang.

Setelah memahami makna di balik peristiwa ini,
Waidao menjadi sadar bahwa fengshui tak lebih
hanya merupakan salah satu fasilitas
dalam menciptakan kondisi matangnya buah karma,
fengshui bukan satu-satunya faktor penting yang menentukan hokkie seseorang,
melainkan karma atau perbuatan kitalah yang sangat menentukan.
Nasib dan kebahagiaan kita, diri sendirilah yang menentukannya.
Waidao setengah berlari mengejar Xinming.

Dhammapada XXV, 21:
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.



[Garis besar cerita ini diambil dari sebuah kisah di salah satu internet Buddhis di Tiongkok.]

Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/Sinar%20Dharma/Sinar%20Dharma%2015.pdf
* Majalah Sinar Dharma - Fiksi Buddhis - Hal. 72 - 73