Cari Blog Ini

31 Oktober 2010

Cermin - Istri Terbaik

Dia menghapus air mata,
merawat suami yang menderita kanker stadium akhir,
juga meyemangati pasien-pasien lain dan kerabat meraka.
Ketabahan dan kehangatannya membuat sang suami merasa tentram,
tanpa ragu memberikan nilai 100 untuknya!



Suatu sore, saya duduk di meja informasi relawan dan sedang merapikan catatan kasus pasien.
Tiba-tiba terdengar suara,

“Apakah Shijie (panggilan relawan wanita di Tzu Chi –red) sedang sibuk?”

Saya langsung mengangkat kepala.
Terlihat seorang wanita setengah baya dengan mata bengkak
dan senyum yang dipaksakan berdiri di hadapan saya.

Saya lalu bertanya, “Apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?”

Wanita itu diam sejenak, lalu berkata,

“Shijie, saya sangat risau dan khawatir, tidak tahu apa yang harus saya lakukan.”

Saya menarik sebuah kursi lalu mempersilakannya untuk duduk.
Dengan suara pelan saya coba menghiburnya,

“Bicaralah apa permasalahannya, jangan dipendam di hati, mungkin kita bisa bantu.”

Dia lalu berkata,

“Dokter telah mendiagnosa bahwa suami saya (terkena) kanker stadium akhir,
hari-harinya sudah tidak banyak lagi.”

Sambil bicara dia mulai menangis,

“Suami saya sangat baik terhadap saya,
tidak pernah membiarkan saya cemas dalam masalah rumah tangga.
Bahkan setiap Ce It, Cap go (tanggal 1-15 penanggalan lunar)
dia sudah mempersiapkan buah untuk persembahan kepada Buddha,
walaupun sebenarnya dia tidak sembahyang.
Sekarang dia sakit parah, tidak tahu apakah para Buddha akan melindunginya?”

Melihat dia begitu sedih dan khawatir, saya sarankan untuk pergi
ke ruang Dharmasala untuk menenangkan hati,

“Berdoalah agar Buddha memberimu kekuatan,
agar kamu bisa dengan hati yang tenang merawat suami,
dan suami juga akan merasakan ketenangan pada hati dan pikiran,
itu baik untuk mengurangi penderitaannya.”

Saya menemaninya ke ruang Dharmasala. Dia lalu merapikan pakaian.
Dengan wajah serius berdiri sambil beranjali,
dia menatap patung Buddha dengan sorot mata yang tulus sambil berdoa.

Setelah itu, kita bersama-sama duduk hening untuk menenteramkan suasana hati.
Selang beberapa hari, saya berkeliling ke ruangan pasien
untuk memberi perhatian kepada mereka.

Saat itu saya melihat wanita setengah baya tersebut sedang duduk
di samping ranjang sang suami sambil dengan tenang berdoa kepada Buddha.

Sesekali dia berbisik di telinga sang suami.
Saya terseyum sambil bertanya, “Wah, bisik-bisik apa nih?”

Dia tertawa lalu menjawab,
“Saya beritahu suami, jika dulu selalu kamu yang mengurus rumah tangga,
sekarang giliran aku yang mengurusmu.
Anak dan mantu sangat berbakti,
jadi kamu tidak usah khawatir pada masalah rumah,
tugas kamu hanya menuruti kata-kata dokter untuk sembuh.”

Tidak hanya itu, wanita itu juga sering meyemangati pasien-pasien lain
dan kerabat mereka agar jangan panik,
dan menyerahkan saja semua kepada dokter dan perawat tanpa risau.


Suatu kali saya melewati ruang pasien, dia memanggil-manggil sambil terseyum,
“ Shijie, saya gembira sekali. Kemarin saya bertanya kepada suami,
“apakah pelayanan kerelawanan saya ada kemajuan?”

Dia menjawab, ”Oh, ada. Bahkan sangat besar,
kamu jadi sangat tabah dan bisa pula menyemangati orang lain.
Jika dulu saya beri nilai 60, sekarang saya beri nilai 100.
Ini membuat hati saya tenang.”



Walau pada akhirnya suaminya meninggal,
tapi hampir sebulan pada masa rawat inap di rumah sakit,
dia tidak hanya belajar merawat diri sendiri, tapi juga bisa membantu orang lain.

Saya yakin nilai 100 adalah hadiah terindah yang diberikan sang suami untuknya.



Sumber :
* http://www.tzuchi.or.id/Buletin/Buletin_53.pdf
* Diterjemahkan oleh Lio Kwong Lin dari Majalah Tzu Chi Monthly Februari 2007
* Buletin Tzu Chi No. 53 | Desember 2009, Hal. 15