Cari Blog Ini

23 Oktober 2010

Kisah Cakkhupala Thera

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana
untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.

Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki,
sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu
yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengunjunginya.

Di tengah jalan,
di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.

"Iiih, mengapa banyak serangga yang mati di sini?" seru seorang bhikkhu.

"Aah, jangan jangan...," celetuk yang lain.

"Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu.

"Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya.

"Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi.


"Begini, sebelum sang thera berdiam di sini, tak ada kejadian seperti ini.
Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu.
Karena jengkelnya ia membunuhinya."

"Itu berarti ia melanggar vinaya,
maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!"
seru beberapa bhikkhu.

"Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha,
bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya,"
timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.

Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan,
berbondong-bondong menghadap Sang Buddha
untuk melaporkan temuan mereka,
bahwa ‘Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya !’

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya,
"Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu ?"

"Tidak Bhante," jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian men-jawab,
"Kalian tidak melihatnya,
demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu,
karena matanya buta.
Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat.
Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."


"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?"
tanya beberapa bhikkhu.



Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah :

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang
tabib yang handal.
Suatu ketika datang seorang wanita miskin.

"Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini.
Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang.
Tetapi, apabila sembuh,
saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan,"
pinta wanita itu.

Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.
Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh.

Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan,
apabila penyakit matanya sembuh,
ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu.

Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib,
bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa
wanita miskin itu telah berbohong kepadanya.

Tabib itu menjadi tersinggung dan marah,
tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu.

"Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu," demikian jawabnya.

"Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati.

Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.

Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya,
tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.



Mengakhiri ceriteranya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair pertama
di bawah ini :

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.

Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.



Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir,
di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya
dan mencapai tingkat kesucian arahat
dengan mempunyai kemampuan batin analitis pandangan Terang’ (pati-sambhida).



Pesan :
Tidak ada seseorang dan sesuatu yang dapat membebaskan Anda
selain pemahaman diri Anda sendiri.





Sumber:
* Sumber: Dhammapada Atthakatha, Oleh: Tim Penerjemah Vidyasena
* http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/LDM/LDM%200054%20-%20Hiri%20Sutta%20Rasa%20Malu%20Mengenai%20Persahabatan%20Sejati.pdf