Cari Blog Ini

23 Oktober 2010

Setetes Pencerahan - Cangkir yang Cantik

Sepasang kakek dan nenek pergi berbelanja di sebuah toko suvenir
untuk mencari hadiah buat cucu mereka.
Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik.
“Lihat cangkir itu”, kata si nenek kepada suaminya.

“Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat”, ujar si kakek.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tibatiba cangkir yang dimaksud berbicara

“Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik.


Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna.
Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.
Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing.

Stop! Stop! Aku berteriak, tetapi orang itu berkata “Belum!”

Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang.

Stop! Stop! Teriakku lagi.

Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku.
Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian.

Panas! Panas! Teriakku dengan keras.

Stop! Cukup! Teriakku lagi.

Tapi orang ini berkata “Belum!”

Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin.
Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh, ternyata belum.
Setelah dingin, aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku.
Asapnya begitu memualkan.

Stop! Stop! Aku berteriak.

Wanita itu berkata “Belum!”

Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria
dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya.

Tolong! Hentikan penyiksaan ini!

Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya.
Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.

Ia terus membakarku. Setelah puas menyiksaku, kini aku dibiarkan dingin.
Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku di dekat kaca.

Aku melihat diriku.
Aku terkejut sekali.
Aku hampir tidak percaya,
karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik.

Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.”
Sumber:
* http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/lumbini/Lumbini%2004.pdf
* Majalah Media Cetak Lumbini - Edisi 04/IX/2009 Tahun II, Hal. 13