Cari Blog Ini

09 Oktober 2010

Setetes Pencerahan - Bertahan Tidak Mati vs Hidup dengan Baik

Hari sangat terik, bunga-bunga di vihara jadi layu karenanya.
“Cepat! Cepat siram air!” Sramenera kecil berteriak,
lalu segera pergi mengambil satu tong air.

“Jangan tergesa!” Bhiksu tua berkata,
“Sekarang ini matahari lagi terik-teriknya,
kalau disiram air, dari panas ke dingin, pasti mati nantinya.
Nanti saja siramnya.”

Petang hari, bunga itu sudah berubah menjadi bunga
kering.
“Tidak pagian siramnya…,” sramanera kecil mengomel sendiri,
“pasti sudah mati dari tadi, disiram pun sudah tak menolong.”
“Jangan cerewet! Siram!” Instruksi bhiksu tua.

Tak lama setelah disiram,
bunga yang sudah merunduk layu itu ternyata tegak kembali,
bahkan memancarkan daya hidup yang kuat.

“Oh!” Sramanera kecil berteriak, “Mereka benar-benar hebat,
bertahan terus di sana, bertahan tidak mati.”
“Omong kosong!” Bhiksu tua mengoreksi,
“Bukan bertahan tidak mati, melainkan hidup dengan baik.”

“Apa bedanya?” Sramanera kecil menundukkan kepala.
“Ya tidak sama.” Bhiksu tua menepuk pundak sramanera kecil,
“Saya tanya kamu, saya sekarang 80 tahun,
bertahan tidak mati atau hidup dengan baik?”

Seusai kebaktian malam, bhiksu tua memanggil sramanera kecil.
“Bagaimana? Sudah paham?”
“Belum,” sramanera kecil masih tetap menundukkan kepala.

Bhiksu tua mengetuk kepala sramanera kecil, “Bodoh!

Orang yang setiap harinya takut mati, itu namanya bertahan tidak mati;
orang yang setiap harinya menatap ke depan, itu namanya hidup dengan baik.”


“Ada usia satu hari, maka laluilah satu hari itu dengan sebaik-baiknya.

Mereka yang di waktu hidupnya membakar dupa
dan menghormat Buddha setiap hari hanya karena takut mati,
berharap setelah mati dapat menjadi Buddha,
dapat dipastikan tidak akan menjadi Buddha.”

Bhiksu tua tertawa ria,
“Orang kalau dalam hidupnya bisa hidup dengan baik,
tapi sengaja tidak hidup dengan baik,
bagaimana bisa hidup enak setelah meninggal?”


Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/Sinar%20Dharma/Sinar%20Dharma%2022.pdf
* Majalah Sinar Dharma - Kisah Chan - Hal. 57-58