Sebuah ucapan arif mengatakan:
ingin tahu seseorang itu pandai atau tidak, lihat jawaban yang diberikannya;
ingin tahu seseorang itu bijaksana atau tidak, lihat pertanyaan yang diajukannya.
Sebagai orang yang pandai, kita tahu jawaban klasik mengenai
kewajiban seorang warga negara adalah bekerja keras membangun negara.
Dan sebagai seorang yang bijaksana, kita harus bertanya:
bekerja keras yang bagaimana?
Sekarang mari kita simak kisah fabel Perjalanan ke Barat Master Xuan Zang.
Kuda putih yang menemani Xuan Zang dalam perjalanan ke India
hanyalah seekor kuda penarik penggilingan yang biasa-biasa saja.
17 tahun berlalu, Xuan Zang akhirnya kembali ke daratan Tiongkok.
Si pahlawan telah kembali, kuda yang mengiringi pahlawan itu
tentu saja juga menjadi kuda pahlawan.
Kuda pahlawan itu datang menengok para kerabat lamanya di penggilingan.
Para kuda dan keledai penarik penggilingan mengelilingi kuda putih itu
mendengarkan kisah perjalanannya yang sangat heroik.
Tak ada yang tak kagum dan iri atas keberhasilan kuda putih itu.
Akhirnya kuda putih berkata,
“Teman-teman sekalian, saya tidak lebih hebat daripada kalian,
hanya kebetulan dipilih oleh Master Xuan Zang,
selangkah demi selangkah menuju ke barat lalu
setapak demi setapak kembali ke timur.
Selama 17 tahun ini kalian juga bukannya bermalas-malasan,
perjalanan yang kalian tempuh juga sama panjangnya dengan perjalananku.
Kita semua sama-sama bekerja keras.”
Para kuda dan keledai penggilingan diam termenung.
Benar juga, mereka selama ini tidak bermalas-malasan,
tetapi mengapa ‘kesuksesan’ itu menjadi milik kuda putih,
sedang mereka hanya begitu-begitu saja? Ini patut direnungkan.
Jika kita berjalan berputar di dalam satu ruangan,
meski telah berjalan ribuan kilometer,
pun tak peduli telah berjalan puluhan tahun,
kita tetap tak pernah keluar dari ruangan itu.
Permasalahannya adalah,
mengapa tidak berusaha menemukan dan membuka pintu ruangan itu?
Demikian pula banyak di antara kita yang hidup dengan terus berputar-putar.
Mengapa meski telah bekerja keras, tetapi kesuksesan tak juga kunjung datang,
negara kita juga masih jauh dari kejayaan
seperti masa-masa Sriwijaya, Singosari dan Majapahit?
Kita bekerja keras, namun tak mengerti ‘untuk apa’ kerja keras itu!
Kita bekerja keras, namun tak paham ‘bagaimana’
cara membuat kerja keras itu lebih bermakna!
Kita tak dapat menemukan dan membuka pintu penggilingan
dan terus berputar-putar di dalamnya.
Untuk apa kita harus bekerja keras?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus lebih dulu memahami apa makna kehidupan kita! Seperti yang diucapkan Alm. Master Sheng Yen:
“Makna kehidupan terletak pada pelayanan,
nilai kehidupan terletak pada pengabdian.”
Bagaimana pula cara agar kerja keras itu lebih bermakna?
Dalam satu hari mengerjakan satu hal yang nyata;
dalam satu bulan mengerjakan satu hal yang baru;
dalam satu tahun mengerjakan satu hal yang besar;
dalam satu kehidupan mengerjakan satu hal yang bermakna.
Sangat sederhana, semua yang kita kerjakan ‘cukup satu saja’.
Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/Sinar%20Dharma/Sinar%20Dharma%2023.pdf* Majalah Sinar Dharma - Setetes Kebijaksanaan- Hal. 5