Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki kebiasaan unik.
Setiap orang yang bersantap dalam pesta perjamuan yang diadakan raja
tidak diperkenankan membalik makanan yang disajikan di atas meja,
hanya boleh makan bagian atasnya saja.
Suatu kali, seorang utusan dari kerajaan asing datang ke kerajaan itu,
raja dengan gembira mengadakan pesta perjamuan.
Perjamuan dimulai,
pelayan menyajikan seekor ikan yang ditaburi dengan wewangian.
Utusan itu tidak tahu akan kebiasaan raja, ia lalu membalik ikan itu.
Para menteri kerajaan yang melihat itu, bersama-sama berteriak dengan keras,
“Baginda, Anda dihina!
Selama ini tidak ada raja yang menerima penghinaan seperti ini,
Baginda harus segera menghukum mati orang ini!”
Sambil menghela nafas Raja berkata pada utusan itu,
“Kamu dengar? Bila tidak menghukum mati dirimu,
saya bisa ditertawakan oleh para menteri.
Tapi, mengingat hubungan baik negaramu dan negara saya,
sebelum dihukum mati kamu boleh mengajukan sebuah permintaan,
saya pasti mengabulkannya.”
Utusan itu berpikir sejenak lalu berkata,
“Kalau memang demikian, saya juga tidak bisa apa-apa.
Saya hanya ingin mengajukan sebuah permintaan kecil.”
Raja menjawab, “Baik, selain memohon nyawamu,
apapun yang kau inginkan pasti akan saya kabulkan.”
Utusan itu lalu berkata,
“Saya harap sebelum saya mati, kedua mata setiap orang yang melihat saya
membalik ikan itu harus dicungkil.”
Raja sangat terkejut, dengan tergopoh-gopoh bersumpah
bahwa beliau tidak melihat, hanya mendengar perkataan orang lain.
Lalu Permaisuri yang berada di samping Raja juga bersumpah mengatakan,
“Saya juga tidak melihat!”
Para menteri saling berpandangan, kemudian setiap orang berdiri,
dengan tangan menunjuk pada langit dan bumi
mereka bersumpah mengatakan juga tidak melihat,
dengan demikian mata mereka tidak akan dicungkil.
Akhirnya utusan itu berdiri sambil tertawa,
“Kalau memang tidak ada orang yang melihat saya membalik ikan itu,
ya mari kita terus bersantap!”
Utusan itu pulang dengan selamat ke negara asalnya berkat kepintarannya.
Pesan :
Demikianlah cara berpikir umat awam,
mereka hanya mengejar kepentingan diri sendiri.
Sedang utusan yang pintar, lebih tepat disebut arif,
bukan mengajari untuk membalas dendam,
melainkan berfokuslah pada titik kelemahan orang
atau permasalahan yang kita hadapi,
maka penyelesaian akan muncul dengan sendirinya.
Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/Sinar%20Dharma/Sinar%20Dharma%2023.pdf
* Majalah Sinar Dharma - Tutur Menular – Vol.7 No.2 | 2553 BE
| Mei – Agustus 2009, Hal. 97