Cari Blog Ini

16 Oktober 2010

Tipitaka 19 - Kisah Dua Sahabat

Suatu ketika dua orang sahabat
yang berasal dari keluarga terpelajar dari Savatthi,
bersama-sama menjadi bhikkhu.

Yang seorang mempelajari Dhamma yang diajarkan oleh Buddha,
dan sangat piawai berkhotbah.
Dia mengajar lima ratus bhikkhu sebagai murid.
Bhikkhu lainnya berusaha keras dan tekun bermeditasi,
sehingga ia berhasil mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu kesempatan, bhikkhu kedua datang
untuk memberi hormat kepada Buddha di Vihara Jetavana.

Kedua sahabat tersebut pun bertemu.
Bhikkhu ahli khotbah tidak mengetahui
bahwa bhikkhu sahabatnya telah menjadi seorang Arahat.
Ia bahkan memandang rendah bhikkhu sahabatnya itu.

Ia berpikir, bhikkhu ini hanya mengetahui sedikit Dhamma.
Ia bermaksud untuk mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya
untuk membuatnya malu di hadapan umum,
dan menambah kekaguman murid-muridnya sendiri kepada dirinya.

Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu.
Buddha juga mengetahui bahwa kalau dibiarkan menghina seorang arahat,
bhikkhu
terpelajar itu akan terlahir kembali
di alam kehidupan yang lebih rendah.

Dengan dilandasi kasih sayang,
Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut
untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya.

Buddha sendirilah yang bertanya mengenai
jhana dan Jalan Kesucian (magga) kepada bhikkhu yang menjadi guru itu.
Ternyata ia tidak dapat menjawab,
karena tidak mempraktikkan apa yang telah diajarkan.
Bhikkhu sahabatnya yang telah mempraktikkan Dhamma,
dan telah mencapai tingkat kesucian arahat,
dapat menjawab semua pertanyaan.

Buddha memuji bhikkhu yang telah mempraktikkan Dhamma (vipassaka),
tetapi tidak satu kata pujian pun yang diucapkan beliau
untuk bhikkhu yang terpelajar (ganthika).

Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti,
mengapa Buddha memuji bhikkhu yang satu
dan tidak memuji guru mereka.

Karena itu, Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.

Pelajar yang banyak belajar,
tetapi tidak mempraktikkannya sesuai Dhamma adalah
seperti pengembala sapi, yang menjaga sapi-sapi
untuk memperoleh upah.

Sedangkan seseorang yang mempraktikkan sesuai Dhamma
adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari
hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut.

Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan
yang diberikan oleh murid-muridnya,
bukan manfaat dari ‘Jalan’ dan ‘Hasil Kesucian’ (magga-phala).


Kemudian Buddha membabarkan syair 19 dan 20 Dhammapada berikut ini:

Bahumpi ce samhita bhasamano
na takkaro hoti naro pamatto
gopova gavo ganayam paresam
na bhagava samannassa hoti.

Appampi ce samhita bhasamano
dhammassa hoti anudhammacari
raganca dosanca pahaya moham
sammappajano suvimuttacitto
anupadiyano idha va haram va
sa bhagava samannassa hoti.


Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran,
maka orang lengah itu, sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain.
Ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran,
menyingkirkan nafsu indra, kebencian, dan ketidak-tahuan,
memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu,
tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana,
maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.



Sumber:
* Sumber: Dhammapada Atthakatha, Terjemahan bebas oleh Ki Ananda
* Majalah Media Cetak Lumbini - Edisi 04/IX/2009 Tahun II, Hal. 18
* http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/lumbini/Lumbini%2004.pdf