Cari Blog Ini

16 Oktober 2010

Tipitaka 299 - Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu

Suatu ketika di Rajagaha,
seorang penebang kayu pergi ke dalam hutan
dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu.

Waktu kembali ke rumah pada sore hari,
mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan.

Mereka juga melepaskan kuk dari dua lembu jantannya
sehingga lembu-lembu bisa merumput di sekitar tempat itu.
Tetapi ke dua lembu jantan pergi tanpa mereka sadari.

Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang,
penebang kayu pergi mencarinya,
meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar.

Sang ayah memasuki kota, mencari lembunya.
Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat,
gerbang kota sudah ditutup.
Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.

Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda,
selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan
sifat-sifat mulia Sang Buddha.

Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti
dan ingin membuatnya celaka.
Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki itu,
ia berteriak,

" Saya menghormat kepada Sang Buddha!" (Namo Buddhassa).

Mendengar kata-kata dari anak itu,
raksasa-raksasa menjadi ketakutan
dan juga merasa harus melindungi anak itu.
Sehingga salah satu dari kedua raksasa itu
tetap berada di dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya.

Raksasa lainnya pergi ke istana raja
dan membawa nampan berisi makanan Raja Bimbisara.
Kedua raksasa memberi makan kepada anak itu bagaikan anaknya sendiri.

Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis
perihal nampan makanan istana,
dan pesan ini hanya terbaca oleh sang Raja.

Pada pagi hari, pengawai Raja menemukan
bahwa nampan makanan istana telah hilang,
mereka sangat putus asa dan ketakutan.

Raja menemukan pesan yang ditinggalkan oleh raksasa
dan menunjukkan pegawainya tempat di mana ia harus mencari.

Pegawai raja menemukan nampan makanan istana
di antara kayu bakar di dalam kereta.
Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di bawah kereta.

Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya
untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas,
tanpa takut setelah memakan makanannya.
Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.


Raja menghadapkan kedua orang tuanya
bersama dengan anak itu kepada Sang Buddha.
Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut
selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha
dan juga ia telah meneriakkan 'Namo Buddhassa',
ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.

Raja bertanya kepada Sang Buddha,

"Apakah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah
satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan kepada seseorang
terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah penuh perhatian terhadap
sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya?"

Sang Buddha menanggapi,

"O Raja, siswaKu! Terdapat enam hal, apabila penuh perhatian
terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi
kemalangan dan mara-bahaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
296, 297, 298, 299, 300, dan 301 berikut :

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
sifat-sifat mulia Sang Buddha
dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
sifat-sifat mulia Dhamma
dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
sifat-sifat mulia Sangha
dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka selalu merenungkan
sifat-sifat badan jasmani
dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira
dalam keadaan bebas dari kekejaman.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik
dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
mereka bergembira
dalam ketentraman samadhi.



Pada saat khotbah Dhamma berakhir,
anak itu beserta kedua orang tuanya encapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian mereka bergabung dalam persamuan Bhikkhu (Sangha)
dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Sumber : http://www.groups.yahoo.com/group/truthbuddha