Cari Blog Ini

17 Maret 2011

Katthahari Jataka

"Akulah Anakmu..."

Dengan duduk bersila di udara, Sang Bodhisatta, dengan nada yang lembut,
mengucapkan syair berikut kepada Ayahnya, menyatakan kebenaran :

Akulah Anakmu, Raja yang agung; rawatlah aku, Tuanku !
Raja merawat banyak banyak orang, 
tetapi hendaknya lebih banyak memperhatikan Anaknya sendiri.

* * *

Ajaran Sang Buddha kepada Raja Kosala berakhir, dan dua buah kisah diceritakan.
Kemudian Sang Buddha menjelaskan hubungan kedua kisah tersebut,
dan menjelaskan kelahiran-kelahiran kembali tersebut: -

"Mahamaya adalah si Ibu pada saat itu,  Raja Suddhodana adalah si Ayah, 
dan Aku sendiri adalah Raja Katthavahana."


* * * * *




Sang Guru ketika berdiam di Jetavana,  yaitu kisah tentang Vasabha-Khattiya
(yang dapat di baca pada Buku XII dalam Bhaddasala Jataka).

Alkisah,
Vasabha adalah Putri dari Mahanama Sakka dengan seorang budak perempuan bernama Nagamunda.
Vasabha kemudian menjadi Permaisuri dari Raja Kosala.
Vasabha melahirkan seorang Anak laki-laki;
namun Raja Kosala setelah mengetahui asal-usulnya,
menurunkan statusnya dari seorang Permaisuri serta menurunkan status Anaknya, Vidudabha.
Ibu dan Anak tersebut tidak diizinkan untuk keluar istana.
* * *


Mendengar hal ini, Sang Guru mengunjungi istana pada dini hari disertai lima ratus Bhikkhu.
Setelah menempati tempat duduk yang sudah disiapkan untuk Beliau,
Sang Buddha bertanya,

"Raja, dimanakah Vasabha-Khattiya ?"

Kemudian Raja Kosala menceritakan apa yang telah terjadi.

"Raja, Putri siapakah Vasabha- Khattiya ?"

"Putri dari Mahanama, Bhante."

"Dan kepada siapakah ia menjadi seorang Istri ?"

"Kepadaku, Bhante."

* * *


"Raja, Vasabha adalah Putri seorang Raja; kepada seorang Raja ia menikah;
dan kepada seorang Raja pulalah ia melahirkan seorang Putra.
Dengan demikian, bukankah Anak tersebut memiliki hak terhadap Kerajaan
di mana Ayahnya berkuasa ?

Pada zaman dahulu, seorang Raja yang memiliki Putra
dengan seorang yang mempunyai ketidak jelasan status secara kebetulan
akhirnya menyerahkan kedaulatan kepada Putranya.

Raja Kosala memohon Yang Terberkahi untuk menjelaskan hal ini.
Yang Terberkahi membabarkan dengan jelas apa yang tidak diketahui oleh Sang Raja
oleh karena Kelahiran Kembali."

* * *



Suatu ketika di Benares, Raja Brahmadatta,
melakukan perjalanan di dalam negaranya untuk menyenangkan hatinya,
sedang berjalan-jalan mencari buah-buahan dan bunga
ketika Beliau secara tak sengaja bertemu seorang gadis yang bernyanyi dengan ceria
sambil memunguti ranting-ranting pohon dari dalam belukar.
Merasa jatuh cinta pada pandangan pertama,
Raja menjadi sangat akrab dengan si gadis,
dan tak lama kemudian si gadis mengandung Sang Bodhisatta.
Merasa tubuhnya semakin berat dan perutnya membesar,
si gadis tahu bahwa dirinya sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu,
dan ia memberitahukan hal ini kepada Raja.

Raja memberi sebuah cincin bertanda dari jarinya dan mengusir si gadis.
Sebelumnya Raja berkata,

"Jika yang lahir seorang perempuan, jual cincin ini untuk memeliharanya;
namun jika yang lahir laki-laki, bawalah cincin dan anakmu kepadaku."

* * *


Ketika tiba saatnya melahirkan, gadis itu melahirkan Sang Bodhisatta.
Beranjak dewasa, saat Boddhisatta sedang berlari-larian dan bermain di halaman,
meledaklah suara tangisan seorang anak,

"Aku sudah tidak punya Ayah !"

Mendengar hal ini, Sang Bodhisatta berlari menemui ibunya dan menanyakan siapa Ayahnya.

"Engkau adalah Anak dari Raja Benares, Anakku."

"Apakah ada buktinya, Ibu ?"

* * *


"Anakku, saat Raja meninggalkan Ibu, Beliau memberi Ibu cincin bertanda ini dan berkata,

'Jika yang lahir seorang perempuan, jual cincin ini untuk memeliharanya;
namun jika yang lahir laki-laki, bawalah cincin dan Anakmu kepadaku.'"

"Lalu mengapa Ibu tidak membawa ku menemui Ayah ku ?"

* * *


Melihat tekad si Anak sudah bulat,
ia membawa Anaknya menuju gerbang istana dan meminta agar dipertemukan dengan Raja.

Setelah di panggil, ia menghadap dan berlutut di depan Raja sambil berkata,

"Ini adalah Anakmu, Tuanku."

Raja mengetahui bahwa wanita di hadapannya berkata yang sebenarnya,
namun Raja merasa malu untuk mengakuinya di hadapan bawahannya.
Beliau menjawab,

"Dia bukanlah Anakku."

* * *


"Namun ini adalah cincin bertanda pemberian Tuanku; Tuanku pasti mengenalinya."

"Ini pun bukan cincinku," jawab Raja.

Kemudian wanita itu berkata,

"Tuanku, sekarang hamba tidak punya saksi untuk membuktikan kata-kata hamba,
namun Hamba menuntut kebenaran.
Karenanya, bila Tuanku memang Ayah dari Anakku,  biarlah ia boleh terbang di udara;
namun bila tidak, biarlah ia jatuh dan mati."

* * *


Selesai berkata, ia mengangkat Sang Bodhisatta dan melemparkannya tinggi ke udara.

Dengan duduk bersila di udara, Sang Bodhisatta, dengan nada yang lembut,
mengucapkan syair berikut kepada Ayahnya, menyatakan kebenaran :

Akulah Anakmu, Raja yang agung; rawatlah aku, Tuanku !
Raja merawat banyak banyak orang, 

tetapi hendaknya lebih banyak memperhatikan Anaknya sendiri.

* * *


Mendengar Sang Bodhisatta mengajarkan kebenaran sambil melayang di udara,
Raja merentangkan kedua tangannya dan terisak

"Datanglah kemari, Anakku !
Tak ada seorangpun kecuali aku yang akan merawat dan memeliharamu !"

* * *


Ribuan lengan terentang hendak memeluk Sang Bodhisatta;
namun hanya ke pelukan Rajalah Sang Bodhisatta melayang turun dan duduk di pangkuannya.

Raja mengangkatnya sebagai Putra mahkota, dan Ibunya dijadikan Permaisuri Kerajaan.
Ketika Raja mangkat, Beliau naik tahta dengan gelar Raja Katthavahana –pembawa seikat kayu bakar-,
dan setelah memerintah Kerajaannya dengan bijaksana,
Beliau wafat melanjutkan kehidupan sesuai dengan perbuatan yang telah di lakukan.

* * *


Ajaran Sang Buddha kepada Raja Kosala berakhir, dan dua buah kisah diceritakan.
Kemudian Sang Buddha menjelaskan hubungan kedua kisah tersebut,
dan menjelaskan kelahiran-kelahiran kembali tersebut: -

"Mahamaya adalah si Ibu pada saat itu,  Raja Suddhodana adalah si Ayah, 
dan Aku sendiri adalah Raja Katthavahana."



Sumber :
Sinar Padumuttara Edisi 9
Jataka
Halaman 46-47
http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/sinar-padumuttara/Sinar%20Padumuttara%2009.pdf