Cari Blog Ini

21 Maret 2011

Kisah Nigamavasitissa

"Wahai Raja Nuri...!", seru Sakka yang sudah menjelma menjadi seekor angsa.

"Kenapa engkau tidak meninggalkan pohon tua itu
seperti yang telah dilakukan para nuri lainnya, mencari pohon lain yang berbuah lebat ?"

Lalu Raja Nuri pun menjawab

"Ketahuilah Angsa, 
karena perasaan Terima kasihku kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya, 
dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya", 
jawab si Raja Nuri.

"Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati."

* * * * *


Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi.
Setelah menjadi seorang Bhikku, ia hidup dengan sederhana.
Untuk ber-pindapata, ia biasanya pergi ke desa tempat saudara-saudaranya tinggal
dan selalu melewatkan kesempatan menerima banyak makanan.

Bahkan ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala berdana makanan
kepada Para Bhikku, ia tetap tak mau pergi.
Para Bhikku lainnya merasa aneh dan menganggap kalau Nigamavasitissa
terlalu dekat dengan saudara-saudaranya sendiri dan tidak peduli akan orang lain
yang ingin menanam benih kebajikan.
Kemudian Para Bhikku tersebut melaporkan kelakuan Nigamavasitissa kepada Buddha.
* * *


Mendengar laporan-laporan dan keluhan dari Para Bhikku,
akhirnya suatu hari Buddha meminta Nigamavasitissa untuk menemuinya.
Dengan penuh hormat Nigamavasitissa datang menemui Buddha
dan menjelaskan semua sikapnya yang selama ini ia lakukan.


Nigamavasitissa berkata kepada Buddha
kalau selama ini ia memang sering mengunjungi desanya tapi hanya pada saat ber-pindapata.
Dia pun tidak pernah mempersoalkan rasa dari makanan yang ia terima
enak atau tidak dan karena ia juga merasa telah cukup,
maka dari itu ia tidak akan mencari lebih banyak lagi dana makanan.

* * *


Setelah mendengar penjelasannya,
Buddha menghargai tindakan Bhikku Nigamavasitissa,
dan menganjurkan Para Bhikku lain untuk mencontohnya.
Bhikku Nigamavasitissa hidup puas dengan sedikit keinginan.
Begitulah semua Bhikku harus bersikap.

Berkenaan dengan hal itu kemudian Buddha menceritakan kisah Raja burung nuri.

* * * * *


Dahulu kala tinggallah Raja burung nuri di lubah sebuah pohon besar
yang tumbuh di muara Sungai Gangga.
Ketika buah-buahan di pohon besar itu telah habis dimakan,
semua burung nuri pergi meninggalkan pohon itu, kecuali sang Raja Nuri.
Sakka, Raja Para Dewa mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan Raja Nuri itu.

Dengan menjelma menjadi sepasang angsa, Sakka, Raja Para Dewa
beserta dengan Istrinya kemudian menemui Raja Nuri.

* * *


"Wahai Raja Nuri...!", seru Sakka yang sudah menjelma menjadi seekor angsa.

"Kenapa engkau tidak meninggalkan pohon tua itu
seperti yang telah dilakukan para nuri lainnya, mencari pohon lain yang berbuah lebat ?"

Lalu Raja Nuri pun menjawab

"Ketahuilah Angsa, 
karena perasaan Terima kasihku kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya, 
dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya", 
jawab si Raja Nuri.

"Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati."

* * *


Setelah mendengar alasan dari si Raja Nuri,
Dewa Sakka beserta Istrinya tergugah dengan tekad dan ketulusan si Raja Nuri.
Dewa Sakka sangat terkesan, lalu menunjukkan wujud aslinya dan
dengan segera menyiram pohon tersebut dengan air yang diambil dari sungai Gangga.
Seketika itu juga pohon tersebut dengan ajaib menjadi segar kembali dan dipenuhi oleh buah.

Raja Nuri adalah kehidupan lampau dari Buddha Gotama.

Lalu setelah menceritakan kisah itu Buddha bersyair.

"Seorang Bhikku yang gembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya  dalam kelengahan,
tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu Nibbana".
( Dhammapada syair II:12)


Kemudian setelah khotbah itu berakhir,
Bhikku Nigamavasitissa mencapai Tingkat Kesucian Arahat.



Sumber:
Sinar Padumuttara 01 - Mei 2008
Dhammapada
Halaman 20-21