Cari Blog Ini

14 April 2011

Jataka 72 - Raja Gajah Yang Baik Hati

Pada suatu waktu Bodhisattva dilahirkan kembali sebagai seekor gajah.
Gajah tersebut berwarna putih cemerlang dan bersinar
bagaikan perak yang dipoles.
Kakinya begitu mengkilat dan seterang vernisan yang terbaik.
Mulutnya semerah karpet merah yang berharga, bersinar dalam lima warna:
biru, kuning, merah, putih, dan merah tua.


Keindahan yang luar biasa dari gajah yang istimewa hanyalah bentuk luar dari Bodhisattva.
Tetapi hal itu hanyalah cerminan biasa saja dari keindahan hati dari Bodhisattva.

Karena dalam banyak kelahiran sebelumnya ia telah memenuhi hidupnya
dengan sepuluh kesempurnaan yaitu
kekuatan, keyakinan, kejujuran, kebaikan, melepaskan rasa kemelekatan,
kebijaksanaan, kesabaran, kemurahan hati, dan tentunya cinta kasih.

Ketika ia dewasa, semua gajah lainnya yang berada di hutan datang
untuk mengikuti dan melayaninya.
Tidak lama kemudian pengikutnya berjumlah depalan puluh ribu ekor gajah,
yang membentuk kerajaannya.
Kawanan gajah yang berjumlah besar itu mempunyai banyak gangguan.
Agar dapat hidup lebih tenang,
ia memisahkan diri dari kawanan itu dan hidup sendiri di hutan terpencil.
Karena kebaikan dan kesuciannya yang mudah terlihat oleh orang lain,
ia dikenal dengan sebutan Raja Gajah yang Baik Hati.

Sementara itu suatu ketika seorang perambah hutan dari Benares
berkelana melalui jalan setapak di Himalaya.
Ia sedang mencari barang berharga yang dapat dijual di Benares.
Setelah beberapa lama ia mencari, ia kehilangan arah dan tersesat.
Ia berlari kian kemari mencari jalan pulang.
Tak lama kemudian ia pun kecapaian dan ketakutan setengah mati.
Tubuhnya mulai gemetar dan ia berteriak penuh ketakutan.

Raja Gajah Yang Baik Hati ini mendengar isakan pengelana yang tersesat dan ketakutan itu.
Timbul rasa iba dan belas kasihnya.
Berharap dapat membantunya dengan segala cara,
ia berjalan menyusuri hutan tempat pengelana itu berada.
Tetapi pengelana ini dikuasai oleh kepanikan yang luar biasa 
sehingga ketika melihat seekor gajah raksasa yang menghampirinya,
ia berusaha melarikan diri.
Melihat hal itu, sang Gajah yang bijaksana berhenti dari langkahnya.
Pengelana pun berhenti berlari.
Kemudian ketika raja Gajah ini mulai melangkah menuju sang pengelana,
lelaki ini kembali berlari, dan berhenti bila sang gajah berhenti.

Saat itu laki-laki itu berpikir,

"Gajah yang baik hati!
Ketika aku berlari, ia berhenti,
dan ketika aku berhenti, ia berjalan ke arahku.
Tentunya ia tidak bermaksud untuk melukaiku, sebaliknya ia pasti ingin menolongku!"

Menyadari hal ini membuatnya berani untuk berhenti dan menunggu.

Sambil berjalan perlahan ke arah pengelana itu, sang gajah bertanya,

"Wahai manusia sahabatku,
mengapa engkau berkeliaran tanpa tentu arah dan berteriak penuh kepanikan?"

"oh tuan gajah", jawab laki-laki itu.

"saya kehilangan arah, tersesat penuh keputusasaan
dan saya takut bila saya mati karenanya!'

Lalu gajah mengajak sang pengelana ke tempat tinggalnya.
Beliau menjamunya dengan buah-buahan terbaik dan kacang-kacangan,
membuatnya nyaman dan terhibur.
Setelah beberapa hari beliau berkata,

"Sahabatku jangan kuatir aku akan membawamu ke perkampungan.
Duduklah di punggungku.
Kemudian Sang gajah menggendongnya menuju perkampungan.

Sementara duduk dengan nyaman di atas makhluk agung tersebut, ia berpikir,

"Bila orang-orang bertanya ke mana saja aku selama ini. .
Aku harus bisa menjawabnya.

"Jadi selagi didukung dengan amannya oleh gajah yang baik hati,
ia mengingat semua tanda di sepanjang perjalanan.
Setelah keluar dari hutan yang lebar dan mendekati jalan menuju Benares,
Raja gajah yang baik hati berpesan,

"Sahabatku, susurilah jalanan ini menuju Benares.
Ditanya ataupun tidak, tolong jangan katakan kepada siapa pun tempat tinggalku."

Selesai mengucapkan kata perpisahan,
gajah berbudi berbalik dan berjalan menuju tempat tinggalnya yang tersembunyi dan aman.

Lelaki tersebut dapat pulang ke Benares dengan mudah.
Lalu suatu hari, sewaktu ia berjalan di pasar, ia memasuki toko yang menjual ukiran gading.
Pengrajin di situ mengukir gading menjadi patung, ukiran pemandangan,
dan bentuk-bentuk lain yang indah.
Perambah hutan ini bertanya kepada pengrajin,

"Maukah engkau membeli gading yang berasal dari gajah hidup?"

Pengrajin gading itu berkata, 

"Pertanyaan macam apa itu!
Semua orang tahu bahwa gading yang berasal dari gajah hidup jauh lebih berharga
dibandingkan dengan gading yang berasal dari gajah yang sudah mati."

Bila demikain aku akan membawakanmu beberapa gading gajah yang hidup,"
jawab perambah hutan.

Dengan hanya memikirkan uang yang akan diterima,
dan tidak  memikirkan keselamatan raja gajah,
dan tidak mengingat budi baik gajah yang telah menolong nyawanya,
lelaki itu memasukkan gergaji tajam ke dalam kantu perbekalannya
dan memulai perjalanan menuju kediaman sang Raja gajah.

Setibanya di sana, Raja gajah bertanya,

"Oh manusia sahabatku, apakah gerangan yang membawamu kembali lagi?"

Dengan membuat-buat sebuah cerita, lelaki yang taman itu menjawab,

"Tuanku gajah, aku orang yang miskin, hidup sangat sederhana.
Karena keadaan ini sangat sulit bagi saya,
saya datang untuk  meminta sebagian kecil dari gading anda.
Jika anda dapat memberikannya kepada saya,
saya akan membawanya pulang dan menjualnya,
kemudian saya dapat menghidupi diri saya dan bertahan hidup beberapa saat lagi."

Jatuh iba kepada laki-laki itu, gajah yang baik hati berkata,

"Tentu saja sahabatku, saya akan memberimu sepotong besar gading!
Apakah kamu kebetulan membawa gergaji?"

"Ya, Tuan." kata lelaki itu,

"Saya membawa sebuah gergaji."

Baiklah, kata raja gajah yang baik dan dermawan,

"Potonglah kedua gading milik saya ini."

Seraya berlutut dan menyodorkan gadingnya yang amat putih keperakan.
Tanpa sedikit pun rasa menyesal,
orang tersebut menggergaji sepotong besar dari tiap gadingnya.

Bodhisattva mengambil kedua potong gading tersebut dengan belalainya,
Ia berkata,

"Sahabatku, aku memberimu kedua potong gadingku yang indah ini
bukan karena aku tidak menyukainya dan ingin menyingkirkannya.
Tidak pula karena kedua gading ini tidak berharga bagiku.
Tetapi gading dari semua kebijaksanaan yang dapat diselami,
yang akan membawa kita menemukan Kebenaran
adalah seribu kali lebih indah bahkan seratus kali lebih indah dan berharga."

Dengan memberikan gading indahnya kepada orang tersebut
sang Gajah berharap kemurahan hatinya dapat membawa lelaki itu
ke arah kebijaksanaan tertinggi.

Lelaki itu pulang dengan menjual kedua potong gading tersebut.
Tak lama baginya untuk menghabiskan semua uangnya,
sehingga ia kembali lagi kepada Raja Gajah yang baik hati.
Ia memohon kepadanya,

"Tuan, yang kudapat dengan menjual gadingmu hanyalah cukup
untuk membayar hutang-hutangku.
Saya tetap orang yang miskin, hidup sangat sederhana.
Keadaan masih sangat sulit di Benares,
jadi tolong berikan sisa gadingmu,
oh tuan yang murah hati!"

Tanpa ragu, raja Gajah memberikan sisa gadingnya.
Lelaki itu memotong semua gading yang terlihat,
sampai ke tulang tengkorak sang Gajah!
Tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi.
Gajah yang baik hati tak lebih hanya sebagai sumber uang bagi lelaki itu.
Ia membawa pulang gading itu ke Benares,
menjualnya dan menghabiskan uang hasil penjualannya itu.

Sekali lagi perambah hutan kembali ke tempat Raja Gajah yang baik hati,
dan ia kembali memohon kepadanya,

"Oh Raja Gajah yang terhormat sangatlah sulit
untuk mencari mata pencaharian di Benares.
Kasihanilah saya dan perkenankan aku memiliki sisa dari gadingmu,
akar gadingmu."

Kemurahan hati yang sempurna berarti memberikan segalanya.
Sehingga, sekali lagi Raja Gajah berlutut dan menyodorkan sisa gadingya.
Kemudian ia dengan kasarnya menggali dengan tumitnya,
mengelupasi dan merobek daging empuk, sisa gading yang begitu indah.
Ia menggunakan gergajinya yang tumpul
untuk memotong dan mencabut akar gading tersebut
dari tempurung gajah yang berbudi luhur.

Perambah hutan pergi dengan membawa gading yang berlumpuran darah.
Ia tidak menunjukkan sama sekali rasa terima kasih atau menyesal
karena ia berpikir bahwa tidak ada alasan lagi baginya
untuk bertemu kembali dengan sang Gajah.

Bumi yang dapat menahan apa saja di dunia ini,
pada akhirnya tidak dapat menahan kejahatan luar biasa
yang dilakukan oleh perambah hutan tersebut.
Sehingga ketika ia tidak lagi terlihat oleh gajah yang sedang menderita,
bumi terbelah dan menelannya.
Api dari alam neraka yang paling dalam menjulur ke atas,
menelannya dalam bara berwarna merah menyala yang membawanya menuju kehancuran!



Hikmahnya:

Orang yang tidak jujur, serakah dan tidak tahu berterima kasih
berarti menggali kubur bagi dirinya sendiri,
menuju ke alam penderitaan yang berkepanjangan.

Kemurahan hati yang sesungguhnya tidak dibatasi oleh kondisi negaif apapun
pada orang yang akan menerimanya.



Sumber:
http://www.dasaparamita.co.cc/2009/03/menceritakan-kisah-raja-gajah-yang-baik.html