Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana,
mengenai seorang Wanita di Sawatthi.
Dikatakan ia adalah seorang Istri yang jahat dari seorang Brahmana yang baik hati dan suci,
merupakan seorang Umat Awam.
Waktu malamnya dihabiskan untuk berkeluyuran;
sementara siang harinya ia tidak pernah bekerja,
namun berpura-pura sakit dan berbaring sambil mengomel.
"Ada apa denganmu, Istriku ?" tanya Suaminya.
"Angin mengganggu saya."
"Apa yang bisa saya ambilkan untukmu ?"
"Manisan, makanan yang lezat dan kaya rasa, bubur nasi, nasi yang panas, minyak dan sebagainya."
* * *
Suami yang penurut itu akan melakukan apa yang ia inginkan,
dan bekerja keras seperti seorang pelayan baginya.
Ia tetap berada di tempat tidur saat Suaminya berada di rumah;
namun begitu pintu ditutup oleh Suaminya,
ia segera berada dalam pelukan kekasih gelapnya.
"Istri saya yang malang, tidak terlihat lebih baik karena pengaruh angin,"
pikir Brahmana tersebut pada akhirnya,
dan pergi untuk mempersembahkan wewangian, bunga dan sejenisnya
kepada Sang Guru di Jetawana.
Setelah memberi penghormatan, ia berdiri di hadapan Sang Bhagawan,
yang bertanya kepadanya mengapa ia tidak terlihat untuk waktu yang begitu lama.
* * *
"Bhante," katanya,
"Istri saya mengatakan ia terganggu oleh angin,
dan saya bekerja keras untuk menjaga agar ia mendapatkan makanan yang dipikirkannya.
Sekarang ia gemuk dan rona kulitnya telah jelas,
namun angin masih tetap mengganggunya.
Karena mengurusinya, saya tidak mempunyai waktu untuk datang kemari, Bhante."
Sang Guru yang mengetahui kejahatan Istrinya berkata,
"Ah, Brahmana, mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan telah mengajarimu
bagaimana mengobati penderitaan wanita seperti yang dialami Istrimu
dari penyakit yang begitu membandel.
Namun kelahiran kembali telah mengacaukan pikiranmu sehingga engkau telah lupa."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
* * * * *
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,
Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang Brahmana dalam sebuah Keluarga yang sangat terhormat.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Takkasilā,
ia menjadi seorang Guru yang sangat terkenal di Benares.
Yang berguru kepadanya adalah
kumpulan Siswa yang terdiri dari Bangsawan dan Brahmana muda
dari semua Keluarga bangsawan dan orang kaya.
Seorang Brahmana muda dari desa telah mempelajari
Tiga Weda dan Delapan Belas Pengetahuan Alam dari Bodhisatta.
Ia menetap di Benares untuk menjaga tanah miliknya;
datang dua hingga tiga kali sehari untuk mendengarkan Ajaran Bodhisatta.
* * *
[464] Dan Brahmana muda ini mempunyai seorang Istri yang buruk,
seorang wanita yang jahat.
Dan semuanya terjadi seperti dalam cerita sebelumnya.
Ketika Brahmana tersebut menjelaskan mengapa ia tidak bisa datang
untuk mendengarkan Ajaran Gurunya,
Bodhisatta, yang mengetahui bahwa Istri Brahmana tersebut hanya berpura-pura sakit, berpikir,
"Saya akan memberitahunya obat apa yang bisa mengobati makhluk ini."
* * *
Maka ia berkata pada Brahmana tersebut,
"Jangan berikan makanan pilihan lagi, Anakku,
namun kumpulkan air seni sapi dan di sana,
celupkan lima macam buah-buahan dan sebagainya,
dan biarkan tumpukan itu diasamkan dalam sebuah pot tembaga yang baru
hingga semua terasa seperti logam.
Kemudian ambil seutas tali atau kawat ataupun tongkat, dan temui Istrimu.
Katakan padanya dengan terus terang
bahwa ia harus menelan obat yang tidak berbahaya yang engkau bawakan,
atau bekerja untuk mendapatkan makanannya sendiri
( Di sini, engkau akan mengulangi baris tertentu yang akan saya ajarkan padamu. )
Jika ia menolak obat tersebut,
ancam dia dengan membuat ia merasakan tali atau tongkat,
dan seret dia dengan menjambak rambutnya sejenak,
ketika engkau memukulnya dengan tinjumu.
Engkau akan mendapatkan bahwa pada ancaman belaka ia akan bangkit dan melakukan pekerjaannya."
* * *
Pergilah Brahmana tersebut
dan membawakan Istrinya kotoran yang dipersiapkan sesuai petunjuk Bodhisatta.
"Siapa yang memberikan resep ini?" tanyanya.
"Sang guru," jawab Suaminya.
"Bawa pergi, saya tidak akan memakannya."
"Engkau tidak mau memakannya ?" kata Brahmana muda itu, memegang ujung tali,
"Baiklah kalau begitu,
engkau telan obat yang tidak berbahaya itu atau bekerja untuk mendapatkan makanan dengan jujur."
* * *
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini:
Engkau bisa menderita atau makan;
yang mana yang engkau pilih ?
Engkau tidak bisa melakukan keduanya, Kosiyā.
[465] Takut pada hal ini, Kosiyā, wanita tersebut menyadari saat Gurunya turut campur,
tidak mungkin untuk mencurangi Beliau,
bangkit dan pergi untuk melakukan tugasnya.
Kesadaran bahwa Guru mengetahui kejahatannya membuat ia bertobat
dan menjadi sebaik sebagaimana sebelum ia berubah menjadi jahat.
* * * * *
( Begitulah kisah ini berakhir, dan Istri Brahmana tersebut,
merasakan Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna,
telah mengetahui seperti apakah dia, memegang rasa takut dan hormat pada Beliau,
tidak pernah melakukan kejahatan lagi. )
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata,
"Suami Istri saat ini adalah Suami Istri pada kisah itu,
dan Saya sendiri adalah Sang Guru."
Catatan kaki :
[212] Lihat juga No.226.
Sumber:
* Indonesia Tipitaka Center
* http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/kosiya-jataka/