Pada awal perjalanan spiritualnya Arya Asangha adalah pribadi yang seperti kita,
tidak mudah untuk menjalani latihan dan merealisasikan aspirasi spiritualnya.
Pada saat itu, Arya Asangha bertekad ingin berguru pada Bodhisattva Maitreya.
Untuk mewujudkan harapan tersebut sebagai seorang buddhis
ada beberapa cara yang bisa ditempuh,
yaitu melatih samadhi hingga mencapai samadhi jhana lalu mengalami abhijnana.
Atau mengembangkan cinta kasih hingga sebesar mungkin sehingga tercapai mahakaruna,
dan ini akan menjadi sebab bagi pertemuannya dengan Bodhisattva Maitreya.
Setelah memperoleh instruksi dan petunjuk dari gurunya,
Arya Asangha pergi menyepi di sebuah gua.
Waktu berlalu selama tiga tahun, ia belum merasakan adanya keberhasilan.
Muncul pikiran untuk membatalkan niat awalnya,
karena menganggap tidak punya karma untuk mencapainya.
Di dekat gua tersebut, terdapat kawanan burung yang biasa mengepakkan sayap mereka
setelah mandi di atas sebidang batu. Karena mungkin sudah berlangsung lama,
permukaan batu tersebut menjadi sangat halus.
Arya Asangha berpikir,
"sayap burung saja jika terus-menerus dikepakkan
dapat menghaluskan batu yang sangat keras,
aku mungkin harus lebih lama menjalankan meditasi".
Lalu ia kembali ke tempat meditasinya.
Tiga tahun berikutnya, tanda-tanda keberhasilannya juga belum muncul.
Muncul kembali pikiran untuk menghentikan praktiknya seperti yang sebelumnya.
Dan ketika ia berjalan keluar, ia melihat tetesan air yang menjatuhi sebuah batu
dan batu itu tembus berlubang karenanya.
Ia berpikir lagi "tetesan air saja dapat menembus batu yang keras ini,
mungkin aku kurang gigih dan usaha".
Arya Asangha lalu kembali lagi ke tempat meditasinya.
Tiga tahun kemudian, terjadi lagi keraguan seperti sebelumnya.
Dan kali ini beliau benar-benar meninggalkan penyepiannya.
Dan pergi ke daerah perkampungan.
Disana ia menjumpai orang yang sedang menggosok sebatang besi (kecil)
dengan selembar kain untuk dibuat jarum.
Arya Asangha kembali berpikir
"besi yang keras saja dapat menjadi jarum dengan digosok kain lembut,
mungkin aku harus berusaha lebih keras lagi".
Lalu kembali lagi ke tempat meditasinya.
Tiga tahun berlalu lagi, akan tetapi Arya Asangha belum juga
melihat adanya tanda-tanda tercapainya tujuan,
ia memutuskan untuk terakhir kalinya,
bahwa mungkin tidak punya karma dalam hidup ini
mencapai pencapaian yang diinginkannya.
Arya Asangha lalu keluar dari gua berniat kembali ke komunitas viharanya.
Untuk menghibur kekecewaannya tersebut,
beliau berniat menolong penderitaan seekor anjing tak berdaya
yang sudah lama tergeletak di depan guanya.
Anjing itu digerogoti oleh belatung-belatung yang hidup
di dalam luka-luka tubuhnya yang menganga.
Arya Asangha menaruh iba yang sangat besar, setelah mengabaikannya selama ini.
Ia berpikir, "kalau saya cabuti belatung itu,
anjingnya akan selamat tetapi belatungnya akan mati, ini tidak baik".
Lalu ia memutuskan untuk mengambil darahnya sendiri
dan menampungnya di sebuah wadah untuk menolong belatung tersebut.
Karena belatungnya amat lembut, akan mati jika dicongkel atau dicabuti.
Ia mengeluarkannya dengan cara menjilati dengan lidahnya,
mengabaikan bau dan busuknya anjing.
Belum ada manusia yang melakukan hal seperti ini sebelumnya, dengan motif karuna.
Ketika Arya Asangha melakukannya, seketika anjing itu hilang,
yang berdiri di depannya adalah Bodhisattva Maitreya.
Arya Asangha terkejut, lalu bertanya siapa Anda?
"Aku Maitreya, yang kau inginkan selama ini".
Arya Asangha berkata,
"Anda Bodhisattva maitri (metta), tapi mengapa baru sekarang menampakkan diri,
aku sudah 12 tahun disini mengharapkanmu."
Bodhisattva Maitreya menjawab,
"Aku disini sudah sejak kamu datang kemari,
hasratmu yang kuat untuk mencapai samadhi jhana
mengabaikan praktik maitri yang menjadi hakikatku.
Dan aku hanya terlihat sebagai seekor anjing busuk olehmu."
Bodhisattva Maitreya lalu meminta Arya Asangha memegang ujung jubahnya,
dan seketika itu sampai di Tushita Devaloka,
alam surga Tushita tempat bersemayamnya Bodhisattva Maitreya,
Sang Buddha yang akan datang. Ia berada disana selama 9 tahun manusia.
Dan membawa pulang ke alam manusia lima seri ajaran
yang disebut "Lima Dharma dari Maitreya".
Kesimpulan:
Tekad dan dedikasi adalah kunci tercapainya tujuan.
Bahkan untuk tujuan duniawi sekalipun.
Pikiran yang mudah beralih dan tujuan yang terus berubah-ubah
serta dedikasi yang pasang surut, tentu saja akan menjauhkan dari tujuan.
Jangan menyepelekan penampakan objek maitri (metta)
walau itu terlihat biasa dan kurang penting.
Lembutkan hati dengan maitri yang kuat kepada makhluk apa saja,
siapa tahu itu ujian kekuatan maitri kita.
Sumber:
Buku Seed of Happiness
Kumpulan Nasihat Buddhis untuk Kehidupan Sehari-hari
Oleh Romo Surya Mahendra
Diterbitkan oleh : Laut Wangi Publishing bekerjasama dengan Bhumisambhara Centre, Jakarta
Hal. 58-61