"Keluarga besar kami akan selalu mengenang budi baik
dari donor sumsum tulang Tzu Chi selamanya."
Di perumahan kuno daerah Hongya, Provinci Sichuan, Tiongkok,
tinggallah keluarga Wang yang disegani dan terhormat.
Wang Jing-chen seorang pemuda rupawan yang cerdas.
Ia menyukai olahraga yang menggunakan bola dan berenang.
Ketika duduk di bangku kelas 1 SMP, ia pernah meraih juara kedua
pada perlombaan Fisika se-Provinsi Sichuan.
Orangtua dan gurunya sangat bangga kepadanya.
Ketika Jing-chen menginjak kelas 2, kondisi tubuhnya melemah dikarenakan
penyakit leukimia yang menyerangnya.
Pada saat itu ia berpikir, "Habislah aku, mungkin hidupku akan segera berakhir."
Seluruh keluarga besar mulai dari ayah, ibu, kakek, nenek, paman dan bibinya
bersedih, namun mereka tak ingin menyerah begitu saja
dan menemani serta mendampingi Jing-cen mengobati penyakitnya itu.
Kakek Wang yang pernah menjadi seorang guru kimia
membaca segala buku yang memuat informasi mengenai penyakit tersebut.
Segala ramuan tradisional pun telah dicoba,
namun tak membuahkan hasil karena sel darah putih Jing-cen malah semakin meningkat.
Maka, sang kakek kemudian melayangkan permohonan
kepada pimpinan balai kesehatan di kota Chengdu.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyambung nyawa Jing-cen
adalah dengan transplantasi sumsum tulang.
Namun karena sumsum orangtua Jing-cen tak cocok,
maka dokter menyarankan untuk meminta bantuan donor sumsum tulang
di Rumah Sakit Tzu Chi Hualien, Taiwan.
Tak lama, setelah permohonan diajukan, kabar baik menghampiri Keluarga Wang
karena ditemukan kecocokan sumsum antara Jing-cen dan seorang pendonor.
Seluruh keluarga besar Jing-cen dihinggapi rasa syukur dan bahagia.
Mereka tak sabar untuk menanti operasi yang akan dilakukan.
Ketika relawan Tzu Chi memasuki ruang utama bandara Chengdu
sambil membawa sumsum, seketika orangtua Jing-cen berlutut saking terharunya
sembari terisak,
"Terima kasih sebesar-besarnya karena putra kami akhirnya dapat diselamatkan.
Keluarga besar kami akan selalu mengenang budi baik dari donor sumsum tulang
Tzu Chi selamanya."
Malam harinya, dokter memindahkan setetes demi setetes sumsum itu ke tubuh Jing-cen.
Operasi ini menemui kendala karena pada saat transplantasi dilakukan,
terjadi kelainan darah yang mengakibatkan Jing-cen mengalami sakit pada punggung,
dada seakan terhimpit, pernafasan yang pendek, dan kencing darah.
Syukurlah semua itu dapat diatasi.
Namun, proses itu menyebabkan luka di rongga mulut dan gusi
sehingga Jing-cen belum mampu menelan apa pun.
Seluruh dokter dan suster memberikan dukungan bagi Jing-cen
agar terus bertahan melawan rasa sakitnya, terlebih lagi keluarga besar Jing-cen.
Mereka mengerahkan seluruh jiwa dan raga dalam menyemangatinya.
Setelah 113 hari sejak dipindahkan ke ruang pasien,
akhirnya Jing-cen memenangkan "pertarungan" ini
dan seolah telah memiliki tubuh yang baru untuk melanjutkan hidup.
Setelah kondisinya pulih, Jing-cen menulis sepucuk surat
dan meminta relawan Tzu Chi untuk mengirimkannya
kepada pendonor yang menetap di Taiwan.
Dalam surat tersebut tertulis,
"Paman Lai, aku tahu bahwa Anda baru saja mengalami kecelakaan parah,
namun tetap bertekad teguh untuk mendonorkan sumsum Anda.
Walaupun kita tak saling mengenal,
tapi Anda bersedia memberikan sesuatu yang amat berharga.
Hal ini belum tentu dapat dilakukan oleh keluargaku."
Jing-cen melanjutkan bahwa semangat Paman Lai akan selalu mendampinginya
sebagai panutan dalam hidupnya.
Jing-cen ingin berbuat seperti Paman Lai untuk menolong orang lain.
Kini, pemuda yang lemah dan kurus kering karena leukimia itu
telah bersemangat kembali menyongsong kehidupannya.
Senyuman hangatnya bagaikan cahaya musim semi yang menyelemuti bumi.
Ketika relawan Tzu Chi mengunjunginya,
Kakek Wang berkata terisak sembari menghapus air matanya,
"Kami pasti harus mengatur waktu dan terbang menuju Taiwan
untuk bertemu dengan Master Cheng Yen dan Bapak Lai
untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas pertolongan mereka."
Di depan pintu rumah Keluarga Jing-cen tergantung dan tertera kalimat
yang ditulis Kakek Wang sebagai wujud syukur mendalam terhadap Tzu Chi,
"Angin musim semi mampu mengubah hujan menjadi secercah cahaya,
budi baik yang tertanam erat sulit untuk dibalas."
Kalimat ini mengandung makna begitu mendalam yang menyatakan
rasa syukur dan terima kasih tak terbatas mereka.
Sumber :
* http://www.tzuchi.or.id/Buletin/Buletin_34.pdf
* Kumpulan Cerita Budaya Kemanusiaan Tzu Chi, Diterjemahkan oleh : Hartini Sutandi
* Buletin Tzu Chi No. 34| Mei 2008, Hal. 12