Akhirnya bhiksu tua meninggal,
sramanera kecil yang sudah beranjak dewasa menjadi pimpinan vihara.
Ia selalu berjubah rapi. Menenteng kotak obat pergi ke daerah yang kumuh
dan miskin untuk memberikan pengobatan bagi warga yang sakit,
lalu kembali ke vihara dengan jubah kotor.
Ia selalu berpindapata seorang diri, tetapi uang yang diterimanya didanakan kembali
kepada orang yang membutuhkan.
Ia jarang berada di vihara, vihara juga tidak diperluas,
tetapi umatnya semakin hari semakin banyak.
Mereka mengikutinya ke mana pun ia pergi,
baik mendaki gunung ataupun mengarungi lautan,
menuju desa terpencil di pegunungan ataupun pantai nelayan.
“Shifu waktu masih hidup mengajari saya apa yang disebut ‘sempurna’.
Sempurna adalah mengejar kesempurnaan dunia ini.
Shifu juga memberitahu saya apa itu takut kotor.
Takut kotor adalah membantu orang yang kotor agar menjadi bersih.
Shifu juga memberi wejangan apa itu pindapata.
Pindapata adalah agar semua orang dapat saling bergandengan tangan,
saling membantu sehingga semua makhluk mengikat jalinan jodoh yang baik.”
Demikian ucapnya.
“Lalu, apa itu Vihara Chan?
Vihara Chan tidak harus berada di gunung atau di hutan,
melainkan harus berada di dunia masyarakat awam.
Selatan, utara, barat, timur, semuanya adalah tempat saya membabarkan Dharma.
Berada di antara langit dan bumi, itulah Vihara Chan saya.”
Semua itu tak lebih hanya sesuap nasi,
tak lebih hanya sekilas pikiran, aktif dan pasif,
berkembang dan terbelenggu,
putuskanlah mau hidup dengan baik atau bertahan tidak mati,
ini juga akan menentukan sampai di mana tingkatan batin kita dalam hidup ini.
Sumber :
* http://dhammacitta.org/pustaka/ezine/Sinar%20Dharma/Sinar%20Dharma%2022.pdf
* Majalah Sinar Dharma - Kisah Chan - Hal. 58-59