Cari Blog Ini

14 April 2011

Jataka 57, 224 - Tuan Kera dan Tuan Buaya

Dahulu kala, di tepi sebuah sungai hiduplah seekor kera.
Ia sangat kuat, dan juga peloncat hebat.
Di tengah-tengah sungai tersebut terdapat sebuah pulau indah
yang dipenuhi oleh pohon mangga, nangka, dan pohon buah-buahan lainnya.
Di tengah-tengah antara pulau dan tepi sungai
terdapat sebuah batu yang menonjol ke atas permukaan air.
Walaupun kelihatannya mustahil,
tetapi tuan kera selalu berhasil meloncat dari tepi sungai ke atas batu itu
lalu meloncat dari batu itu ke pulau indah tersebut.

Di sana ia akan memakan buah-buahan sepanjang hari
dan kemudian pada sore harinya pulang ke rumahnya dengan cara yang sama.

Di seberang sungai tersebut hiduplah pasangan
yang terkenal dengan nama  Tuan dan Nyonya Buaya.
Mereka sedang menanti kelahiran bayi buaya pertama mereka.
Karena sedang mengandung,
nyonya buaya kadang-kadang menginginkan makanan yang aneh-aneh.
Oleh karena itu,
ia selalu mengajukan permintaan-permintaan yang luar biasa kepada suaminya yang setia.

Seperti hewan-hewan yang lain,
Nyonya Buaya juga kagum kepada keterampilan Tuan Kera
yang dapat melompat ke pulau yang indah.
Suatu hari, dalam hati Nyonya Buaya timbul suatu keinginan besar
untuk memakan jantung Tuan Kera.
Ia pun memberi tahukan keinginannya kepada Tuan Buaya, suaminya.
Untuk menyenangkan hati istrinya,
Tuan Buaya berjanji akan mengambil jantung Tuan Kera untuk makan malam nanti.

Tuan Buaya pergi dan berbaring di batu
yang berada di tengah-tengah antara pulau dengan tepi sungai.
Ia bermaksud menunggu Tuan Kera kembali dari pulau tersebut
dan merencanakan untuk menangkapnya.

Seperti biasa, Tuan Kera berada di pulau itu sepanjang hari.
Ketika tiba saatnya untuk pulang ke rumah,
Tuan Kera memperhatikan batu tersebut kelihatan seperti bertambah besar.
Seingatnya sebelumnya batu tersebut tidak setinggi saat ini.
Ia menyelidiki dan menemukan bahwa ternyata tinggi air sungai tetap sama
dengan tinggi air sungai pada pagi hari tadi, tetapi batu terlihat lebih tinggi.
Tiba-tiba timbul dugaan dalam hati Tuan Kera,
mungkin ada tuan Buaya yang cerdik di sana.

Untuk membuktikan dugaannya, Tuan Kera berteriak ke arah batu itu,

"Hai, Tuan Batu! Apa kabar?" Ia berteriak tiga kali.

Kemudian ia melanjutkan,
"Biasanya Tuan selalu menjawab jika saya bertanya.
Tetapi hari ini tuan tidak menjawabnya. Apa yang terjadi Tuan Batu?"

Tuan Buaya berpikir, dari dulu batu ini pasti sering bercakap-cakap dengan kera itu.
Saya tidak sabar menanti hingga batu bodoh ini menjawab pertanyaannya.
Biar saya saja yang mewakili batu ini
untuk menjawabnya dan sekaligus menipu tuan kera itu,
lalu ia berteriak,

"Saya baik-baik saja Tuan Kera. Apa yang anda inginkan?"

Tuan Kera bertanya kembali,

"Siapakah anda?"

Tanpa berpikir panjang, buaya itu menjawab,

"Saya adalah Tuan Buaya."

"Mengapa anda berbaring di sana?" tanya Tuan Kera.

Tuan Buaya menjawab,

"Saya bermaksud untuk mengambil jantung anda!
Anda  tidak dapat melarikan diri Tuan Kera!"

Tuan Kera yang cerdik berpikir,

"Wah, Ia benar."
Tidak ada jalan keluar yang lain untuk dapat kembali ke tepi sungai,
jadi saya harus menipunya."

Kemudian ia berteriak,

"Tuan Buaya, sahabatku, kelihatannya saya telah masuk perangkap anda.
Jadi saya akan memberikan jantung saya.
Bukalah mulut anda dan terimalah bila saya sampai di sana."

Tuan Buaya membuka mulutnya lebar-lebar.
Saking lebarnya, maka matanya pun tertutup sipit.
Melihat hal itu, Tuan Kera langsung meloncat ke atas kepala Tuan Buaya
lalu segera meloncat lagi ke tepi sungai.

Ketika Tuan Buaya menyadari bahwa ia telah tertipu,
ia sadar dan mengakui kemenangan Tuan Kera.
Seperti pemain yang sportif mengakui kekalahannya dalam sebuah perlombaan,
Tuan Buaya menghormati sang pemenang.
Ia berkata,

"Tuan Kera, saya telah berbuat salah terhadap anda. 
Saya bermaksud untuk membunuh lalu mengambil jantung anda
untuk menyenangkan istri saya.
Tetapi anda berhasil lolos tanpa menyakiti siapa pun.
Saya memberi selamat kepada anda!"

Kemudian Tuan Buaya pun kembali ke rumahnya.
Pertama-tama Nyonya Buaya merasa tidak senang dengan kegagalan suaminya,
tetapi setelah bayi buaya lahir,
lama kelamaan mereka pun melupakan kejadian tersebut.


Hikmah:

Mau mengakui kekalahan adalah salah satu bentuk kejujuran.
Kejujuran membuahkan kedamaian.


Sumber:
http://www.dasaparamita.co.cc/2009/03/menceritakan-kisah-tuan-kera-dan-tuan.html