Manusia adalah buah tertinggi dari pohon evolusi. 
Manusia harus menyadari posisinya dalam alam dan memahami arti hidup yang sebenarnya. 
Manusia mungkin cukup pintar untuk mendarat di bulan 
dan menemukan hal-hal yang menakjubkan di alam semesta, 
tetapi ia harus mempelajari kerja dalam pikirannya sendiri. 
Ia tetap harus mempelajari bagaimana pikirannya dapat dikembangkan 
sampai potensi tertingginya sehingga sifat sejatinya dapat disadari. 
Akan tetapi manusia tetap saja terbungkus dalam kegelapan batin. 
Ia tidak mengetahui siapa ia sebenarnya atau apa yang diharapkan darinya. 
Akibatnya, ia salah menafsirkan segala sesuatu 
dan bertindak atas dasar kesalahtafsiran itu. 
Apakah tidak mungkin bahwa seluruh peradaban dibangun diatas kesalahtafsiran ini ?
Kegagalan untuk memahami keberadaan, 
membawa kita mengasumsikan suatu identitas yang salah 
tentang seorang yang egois dan berpura-pura menjadi apa yang bukan diri kita 
atau yang tidak dapat kita wujudkan. 
Manusia harus melakukan usaha untuk mengatasi kegelapan batin 
agar sampai pada penyadaran dan Pencerahan. 
Semua orang besar dilahirkan sebagai manusia dari rahim, 
tetapi mereka bekerja keras mencapai kebesaran. 
Penyadaran dan Pencerahan tidak dapat dituangkan ke dalam hati manusia 
seperti air ke dalam bejana. 
Bahkan Sang Buddha juga harus mengembangkan pikiran-Nya 
untuk menyadari sifat sejati manusia. 
Manusia dapat dicerahkan - menjadi Buddha - 
jika ia bangun dari 'mimpi' yang diciptakan oleh ketidaktahuannya sendiri, 
dan menjadi sadar sepenuhnya. 
Ia harus menyadari bahwa dirinya saat ini 
merupakan hasil dari sejumlah pengulangan pikiran dan perbuatan 
yang tak terhitung. 
Ia tidak berbuat siap jadi; 
ia terus berada dalam proses menjadi, selalu berubah. 
Dan dalam sifat perubahan inilah masa depannya terbentang, 
karena hal ini berarti memungkinkan baginya 
untuk membentuk sifat dan nasibnya 
melalui pengendalian perbuatan, ucapan, dan pikirannya. 
Sumber: 
Buku Keyakinan Umat Buddha 
Oleh: Sri Dhammananda
Penerbit: Yayasan Penerbit Karaniya 
Hal. 192-193